Perjuangan Kaum Mama Lestarikan Kain Tenun Ikat Lamalera

Warisi Nenek Moyang, Motif Ikan Paus Jadi Primadona

Jumat, 09 Mei 2014 – 19:28 WIB
KAIN MAHAL: Para mama di Desa Lamalera beraktivitas sehari-hari. Lihatlah kain tenun yang dipakai, sangat eksotis. Foto: Tri Mujoko Bayuaji/Jawa Pos

jpnn.com - TENUN ikat Lamalera, Nusa Tenggara Timur (NTT), memang terkenal eksotis. Karena itu, tak heran bila hasil kerajinan tangan para mama (sebutan kaum perempuan) di desa tersebut sampai dihargai jutaan rupiah. Wartawan Jawa Pos TRI MUJOKO BAYUAJI yang pekan lalu ke NTT menyempatkan untuk mengunjungi para perajin tenun tradisional itu.

-------------------
Jumat (2/5) siang itu suasana di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lambeta, NTT, tampak sepi. Bagaikan tidak ada aktivitas penduduk. Maklum, saat siang, desa di bibir pantai tersebut ditinggalkan warga laki-lakinya melaut. Hampir tidak ada laki-laki di desa itu yang tinggal di rumah.

BACA JUGA: Mengunjungi Pasar Wulandoni, Pasar Barter di Nusa Tenggara Timur

Begitu pula para mama, mereka punya kesibukan sendiri. Kebanyakan perempuan di desa berpenduduk sekitar 2.000 orang itu menjadi perajin tenun ikat. Sejak pagi hingga sore, mereka suntuk di depan alat tenun masing-masing. Kalau sudah tenggelam dengan benang-benang tenun, mereka sampai tidak bisa diganggu. Sementara itu, anak-anak mereka pergi ke sekolah atau bermain di laut.

’’Ya, beginilah pekerjaan para mama di sini. Mulai pagi sampai sore duduk begini. Tapi, kalau rematik kambuh, saya harus istirahat,’’ ujar Agnes Beto Bataona, salah seorang warga Lamalera, saat ditemui Jawa Pos di rumahnya siang itu.

BACA JUGA: Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis

Dengan menggunakan selaga, Agnes tampak tekun mengikat lembar demi lembar kain pesanan saudaranya di Wulandoni. Sesekali Agnes mengunyah sirih yang sudah disiapkan di samping alat tenun. Selaga adalah alat khusus untuk membuat motif tenun ikat khas Lamalera. Selain selaga, para mama memegang faniduang yang dipakai untuk merapikan motif.

Terdapat pula alat-alat bantu tenun lainnya seperti tenane pola vulo gurokajo. Bagian itu merupakan alas tenun berbentuk kayu berukuran satu meter dan berfungsi untuk merangkai bentuk motif yang diinginkan.

BACA JUGA: Di Tengah Laut, Kaya Minyak, tapi Fasilitas Penjagaan Minim

Ada juga kedaje, yaitu alat yang digunakan untuk menahan tenane pola vulo gurokajo, berfungsi menahan kaki. Bagian terakhir dinamai sligu, yaitu alat untuk menahan tekanan dari tenane pola vulo gurokajo, berfungsi menahan badan sekaligus sebagai sandaran.

Menurut Agnes, alat tenun di desanya saat ini lebih modern jika dibandingkan dengan zaman generasi sebelumnya. Pada mesin tenun era dulu, kaki-kakinya harus ditanam di tanah. Namun, alat tenun sekarang sudah portabel. Bisa dipindah ke sana-kemari.

’’Kalau dulu harus di luar (rumah) menenunnya. Kalau sekarang, bisa berpindah ke mana saja,’’ katanya lantas tersenyum.

Sejak dibuat ratusan tahun silam, tenun ikat Lamalera tetap mempertahankan motif asli. Salah satu motif yang paling disukai dan eksis adalah gambar ikan paus, lengkap dengan peledang atau perahu pemburu paus dengan kombinasi motif ikan pari.

Tenun ikat yang tengah dibuat Agnes ketika itu juga bermotif ikan paus tersebut. Dia belajar secara turun-temurun dari orang tuanya.

’’Sebelum kain diikat, motif harus sudah diwarnai dan diurutkan dengan motif warna yang dipilih,’’ jelasnya.

Pewarnaan motif kain tenun ikat Lamalera saat ini lebih mudah. Agnes menyatakan, warna tenun bisa ditentukan dengan menggunakan tinta dari pabrik. Kalau dulu, tinta harus dibuat lebih dulu dari akar pohon clore.

’’Akar bawahnya diambil, dicincang, ditumbuk, baru direbus,’’ kata Agnes.

Warna dari akar clore menjadi warna cokelat. Benang yang sudah disiapkan tinggal dicelupkan sampai berubah warna. Warna lain membutuhkan bahan lain yang juga didapat dari alam.

’’Kalau mau hijau, dari daun. Biasanya pakai daun kacang panjang. Warna kuning dari kunyit. Prosesnya sama, dengan direndam,’’ kata nenek berusia 66 tahun itu.

Untuk benang yang dipakai saat ini, kata Agnes, ada dua macam. Untuk benang pabrik, perempuan di Lamalera menyebutnya benang toko. Namun, masih ada juga benang kapas yang bisa didapat dengan memintal sendiri atau membeli jadi.

’’Bedanya, kalau benang toko, kainnya lebih tipis. Kain tenun dengan benang kapas lebih tebal,’’ ujarnya.

Tenun ikat Lamalera biasanya terdiri atas dua bagian yang harus disambung. Bahkan, ada juga yang terdiri atas tiga bagian. Model yang terakhir itu biasanya digunakan untuk kebutuhan upacara adat. Panjang satu bagian kain sekitar 1,5 meter dengan lebar 1 meter. Jadi, untuk satu kain tenun, umumnya punya panjang 3 meter.

Untuk menghasilkan satu kain tenun yang bisa dibuat baju, diperlukan waktu seminggu per lembar. Namun, bisa saja prosesnya dipercepat hingga 3–4 hari. Modal yang dibutuhkan untuk selembar kain tenun ikat sekitar Rp 200 ribu.

Tapi, setelah jadi, harga kain ikat tenun Lamalera dengan bahan benang toko bisa mencapai Rp 800 ribu. Namun, jika kain itu menggunakan benang kapas, harganya bisa berlipat hingga jutaan.

’’Biasanya dijual Rp 3 juta per lembar. Kainnya lebih halus dan cantik,’’ jelasnya.

Kelebihan menggunakan benang kapas, kata Agnes, selain lebih tebal, hasil jadinya lebih klasik atau retro. Para mama cenderung menggunakan cara tradisional untuk mewarnai benang kapas. ’’Baunya juga harum karena prosesnya alami.’’

Kain tenun ikat Lamalera, selain bernilai ekonomi tinggi, berfungsi untuk berbagai acara ritual keagamaan dan adat. Saat misa, para perempuan Lamalera pasti mengenakan kain tenun ikat itu sebagai bawahan, dikombinasi dengan kemeja. Sementara itu, para lelaki memakai kain tenun polos atau dengan motif standar bergaris-garis atau kotak-kotak.

Untuk ritual pernikahan, kain tenun Lamalera juga sangat berperan. Jika ada lelaki yang melamar perempuan Lamalera, pihak perempuan biasanya akan memberikan persembahan berupa sarung adat. Sarung adat itulah yang biasanya dijahit untuk digunakan sebagai baju mempelai pria.

Sementara itu, maskawin yang diberikan mempelai laki-laki tak kalah mewah. Kain tenun ikat tersebut biasanya ditukar dengan gelang-gelang dari gading gajah yang sangat berharga. Ragam maskawin itu merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang.

Bagi masyarakat di luar Lamalera, mengenakan kain tenun ikat merupakan kebanggaan tersendiri. Masyarakat NTT di luar Lamalera biasa menggunakan tenun ikat itu untuk menghadiri acara penting. Dengan nilai jual yang tinggi, tenun ikat Lamalera memiliki prestige bagi yang menggunakan.

Di Desa Lamalera, kain-kain itu dijual langsung kepada pembeli yang datang ke rumah-rumah warga. Banyak juga yang menjual ke wisatawan yang datang dengan kapal pinisi yang berlayar dari Denpasar. Biasanya kapal akan bersandar di Pantai Lamalera. Saat itulah para mama menawarkan dagangannya kepada wisatawan.

’’Kami biasanya menjual tepat di pinggir pantai,’’ ujarnya. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Semua Tentang Jazz Indonesia Berawal dari Sini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler