jpnn.com - Tim evakuasi WNI dari wilayah konflik di Yaman mencatat ’’kesuksesan’’. Jumlah WNI yang harus dikeluarkan pun cukup masal, ribuan orang. Ketegangan mewarnai proses evakuasi, terutama ketika tim berada di wilayah kekuasaan kelompok Houthi di Al Hudaidah dan Sanaa.
Laporan Mochamad Salsabyl Ad’n, Jakarta
BACA JUGA: Surga Ikan di Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas, Itu Kini Hilang
BAGI Ketua Tim 1 Evakuasi Yaman Susapto Anggoro Broto, operasi penyelamatan warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Yaman merupakan pengalaman yang sulit dilupakan. ’’Berdasar pengalaman saya di berbagai operasi evakuasi WNI selama ini, yang di Yaman paling sulit dan mendebarkan,’’ ungkap Susapto ketika ditemui di Gedung Perlindungan WNI-BHI, Jl Pejambon Jakarta Pusat, Rabu (6/5).
Sambil menyandarkan tubuh bongsornya ke kursi, Sapto –begitu pejabat fungsional diplomatik Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesi (PWNI-BHI), Kementerian Luar Negeri itu biasa dipanggil– menceritakan pengalamannya menjadi ketua tim evakuasi WNI di berbagai wilayah konflik. Di antaranya, di Damaskus, Syria, 2012–2013 dan menangani kasus pembakaran kantor KJRI di Jeddah, Arab Saudi.
BACA JUGA: SOS Childrenââ¬â¢s Villages Indonesia, Wadah Memandirikan Anak-Anak Telantar
’’Saya bolak-balik ke Syria untuk mengambil warga kita yang terjebak di wilayah konflik. Namun, pengalaman di Yaman ini yang paling menegangkan,’’ ujarnya.
Saat memimpin tim Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) ke Yaman, Sapto bagaikan memasuki wilayah tanpa hukum. Terutama di Sanaa yang merupakan salah satu wilayah konflik paling mencekam. Selain kondisi geografis ibu kota Yaman itu yang dikelilingi pegunungan, wilayah tersebut sudah dikuasai kaum pemberontak Houthi.
BACA JUGA: Finger Talk Cafe, Pertama dengan Pramusaji Tunarungu
’’Bisa dibayangkan bagaimana kita tidak tegang berada di wilayah tanpa hukum. Salah sedikit, nyawa bisa melayang,’’ tuturnya.
’’Berbeda dengan Damaskus (Syria) yang ketika konflik masih dikuasai pemerintah sehingga jalur evakuasi, logistik, dan jaminan keamanan masih ada,’’ imbuhnya.
Sapto ditunjuk langsung oleh Direktur PWNI-BHI Lalu Muhammad Iqbal untuk menjadi ketua tim evakuasi Yaman. Ketika itu, Sapto yang sedang dalam perjalanan mengunjungi orang tua di Jogjakarta mendadak diminta kembali ke Jakarta untuk menyiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat ke negara Timur Tengah tersebut. ’’Saya hanya bisa ketemu orang tua 10 menit di Jogja dan langsung pamit balik,’’ terangnya.
Sesampai di Jakarta, Sapto langsung mengumpulkan lima anggota tim dari Kemenlu. Yakni, dua ahli bahasa Arab Rahmat Hindiarta Kusuma dan Ainur Rifqie Madanie, serta tiga ahli logistik, administrasi, dan evakuasi, yakni Rendy Ramanda, Prabawa, dan Minggu. Selain itu, mereka didukung empat personel Polri dan dua anggota TNI-AU.
Setelah merampungkan berbagai persiapan, tim terbang ke Yaman Barat pada 6 April. Mereka transit di Kota Tuwal yang berbatasan dengan Yaman sebelum ke Kota Sanaa. Apes, saat melewati perbatasan, bus yang mereka tumpangi dihentikan petugas imigrasi yang dipimpin seorang tentara pemberontak Houthi.
Dengan membawa AK-47, anggota Houthi itu memerintah petugas imigrasi Yaman untuk memeriksa dengan ketat bus tim evakuasi dari Indonesia tersebut. Tak pelak, sejumlah barang untuk kebutuhan evakuasi disita petugas. Di antaranya, 12 rompi antipeluru dan obat-obatan yang dibawa dari tanah air.
Bukan hanya itu. Anggota Houthi juga memerintah sopir untuk menuju hotel yang tidak jauh dari perbatasan. ’’Orang Houthi itu ikut masuk bus. Kami seperti sedang disandera,’’ jelasnya.
Sampai di depan Layali Dubai Hotel, Yaman, bus berhenti. Suasana semakin menegangkan. Tidak lama kemudian, bus sudah dikepung kelompok bersenjata Houthi. Sapto dan tim lalu diminta turun, tetapi sempat menolak.
’’Setengah jam kami bertahan di bus. Orang Houthi itu bilang bahwa mereka adalah teman. Kami juga dianggap bukan tahanan. Tapi, saya tetap tidak mau turun. Buntutnya, suasana tambah tegang. Rahmat (penerjemah, Red) akhirnya meminta tim harus turun karena mereka mulai marah,’’ kenang Sapto.
Dengan hati-hati Sapto mengikuti perintah utusan Houthi itu untuk memasuki hotel. Ternyata di dalam hotel ada sejumlah anggota pemberontak Houthi yang siap menyambut. Meski awalnya sempat tegang, Sapto cs akhirnya bisa bernapas lega. Sebab, orang-orang bersenjata itu menyambutnya dengan ramah. Bahkan, selama sejam mereka mengajak Sapto cs berdiskusi dengan berbagai topik sebelum akhirnya dilepas.
”Kami berhasil mendapatkan kembali obat-obatan yang disita, tapi rompi anti pelurunya tetap diambil mereka. Kata mereka, kalau kami tetap kukuh akan membawa rompi, lebih baik keluar Yaman saja,” ujar pria kelahiran 1970 itu.
Pada 6 April pukul 18.30 waktu setempat tim akhirnya tiba di Hotel Al Syari, Kota Al Hudaidah, Yaman Barat. Dari sanalah Sapto mulai menjalankan operasi evakuasi. Di antaranya, melakukan pertemuan dengan petinggi-petinggi Houthi untuk meminta informasi dan jaminan kemanan evakuasi WNI.
”Evakuasi kami rencanakan melalui bandara. Karena itu, kami membawa anggota TNI-AU untuk melakukan assessment di sana. Eh, ternyata bagian keberangkatan bandaranya hancur,” jelasnya.
Di Hudaidah Sapto dan tim juga menyisir TKI ilegal yang bekerja di kota itu. ”Kami keliling Hudaidah menggunakan taksi. Tapi, kendaraannya lebih mirip angkot di Jakarta,” ungkapnya.
Tim juga melakukan berkoordinasi untuk mengeluarkan WNI di kota-kota sekitar Hudaidah. Di antaranya, 85 santri di Aden dan 56 WNI dari Sanaa ke Hudaidah. Selama dua minggu proses evakuasi, tim mesti superhati-hati. Pasalnya, peluru berdesingan dan dentuman bom mengancam keselamatan mereka.
’’Tanggal 15 April kami terpaksa memulangkan anggota tim dari unsur Polri dan TNI-AU karena evakuasi tak jadi melalui jalur udara,’’ paparnya.
Enam anggota tim dari Kemenlu kemudian bersiap ke Sanaa, ibu kota Yaman, yang menjadi pusat konflik. Di sana banyak WNI yang minta dievakuasi. Maka, ketegangan kembali terjadi.
Pada 20 April tim sudah berada di KBRI Sanaa. Suara peluru dan bom terus terdengar sepanjang hari. Sekitar pukul 10.30 ada serangan udara bertubi-tubi di gunung samping kantor KBRI. Saat itu di KBRI ada 17 WNI, 6 anggota tim evakuasi, dan beberapa staf KBRI.
Seperempat jam kemudian tiba-tiba terdengar dentuman disertai guncangan sangat keras di kantor KBRI. Lalu, kaca-kaca jendela KBRI pecah berantakan, perabotan kantor lainnya ikut hancur.
’’Untung, saya sudah pernah mengikuti pelatihan keselamatan perang dari PBB. Jadi, pas ada ledakan itu, saya langsung melindungi kepala,’’ jelasnya.
Meski begitu, Sapto sempat terlempar beberapa meter dari tempat duduknya. Ada pecahan kaca yang merobek tangan dan kakinya. Sapto pun cepat-cepat menyelamatkan diri sebelum plafon di atasnya runtuh.
”Waktu itu saya langsung lari ke pojokan bersama seseorang. Saya sudah siap kalau akan kejatuhan atap,” ceritanya.
Benar saja, beberapa detik kemudian atap kantor KBRI runtuh diikuti sebagian dindingnya. Pendek kata, kantor KBRI saat itu benar-benar hancur. Untung, tak ada korban jiwa. Hanya, beberapa WNI mengalami luka ringan karena terkena pecahan kaca. Termasuk Sapto. ’’Saya nggak berani jawab SMS istri saya yang menanyakan kabar KBRI terkena bom,’’ jelasnya.
Esoknya (21/4) Sapto memberangkatkan WNI yang tersisa ke rumah aman di Hotel Al Syarif, Hudaidah. Sialnya, pernyataan koalisi negara teluk soal penghentian serangan pun tak terbukti. Rupanya terjadi serangan udara di Bandara Hudaidah, 3 kilometer dari rumah aman.
Setelah beberapa hari berada di Yaman, Sapto dan tim pulang ke Indonesia. Mereka membawa 248 WNI, 34 warga Yaman, 67 warga Malaysia, dan 3 warga Thailand. ’’Itu jumlah yang sangat banyak dalam operasi evakuasi. Kami bangga bisa melakukannya dengan selamat,’’ tandas Sapto. (*/c5/c10/ari
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sambil Berbisik, Mami itu Menawarkan Rp 700 Ribu untuk Perempuan 18 Tahun
Redaktur : Tim Redaksi