Surga Ikan di Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas, Itu Kini Hilang

Warga Dayak Terpaksa Makan Sarden Kalengan

Kamis, 07 Mei 2015 – 03:41 WIB
KHAS DAYAK: Para penghuni Rumah Betang Toyoi di Tumbang Malahoi. Mereka kini tak bisa mencari ikan lagi di Sungai Baringei. Sungai itu tercemar penambangan emas liar. Foto: Denar/Kalteng Pos/JPNN

jpnn.com - Sungai dan hutan menjadi andalan kelangsungan hidup bagi warga asli Borneo. Tapi, kini suku Dayak Ngaju di Tumbang Malahoi, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, tidak lagi bisa menikmati hasil sei (sungai). Berikut catatan wartawan Jawa Pos AMRI HUSNIATI yang baru pulang dari sana.

Laporan Amri Husniati, Gunung Mas, Kalimantan Tengah

BACA JUGA: SOS Children’s Villages Indonesia, Wadah Memandirikan Anak-Anak Telantar

SEI BARINGEI yang membelah Desa Tumbang Malahoi terlihat keruh kecokelatan. Di tepi kanan dan kirinya beberapa perahu kecil ditambatkan, berserak di antara jamban terapung. Ya, sebagian penduduk pedalaman itu masih mengandalkan sungai untuk mencuci, mandi, dan buang hajat.

Namun, kini warga tak bisa lagi malunta (menebarkan jaring), memasang lukah (jebakan dari anyaman bilah-bilah bambu), ataupun maunjun (memancing). Sudah beberapa tahun terakhir tak ada ikan baung, saluang, lais, patin, papuyu, serta haruan yang tersangkut di bubu maupun mata unjun.

BACA JUGA: Finger Talk Cafe, Pertama dengan Pramusaji Tunarungu

Kalaupun di setiap Minggu pagi buta kaum pria mendayung sampan atau menyalakan mesin perahu kecil berbahan bakar solar, itu dilakukan bukan karena mereka hendak mencari ikan. Namun, mereka berangkat ke hutan lewat jalur sungai. Para laki-laki tersebut pergi untuk berladang, menyadap karet, mencari rotan, serta berburu binatang.

”Tidak ada lagi ikan di sei,” kata Supandianto, warga Tumbang Malahoi yang dipercaya sebagai juru pelihara Betang Toyoi, rumah adat Dayak yang didirikan pada 1896, kepada saya yang berkunjung ke rumahnya pertengahan April lalu.

BACA JUGA: Sambil Berbisik, Mami itu Menawarkan Rp 700 Ribu untuk Perempuan 18 Tahun

Menurut Boni, panggilan Supandianto, sejak sungai selebar 40 meter lebih itu tercemar limbah tambang emas, warga Tumbang Malahoi tidak bisa menikmati ikan secara gratis dari alam. Mereka sekarang harus membelinya dari penjual ikan keliling yang datang ke kampung setiap pagi. Ironis. Sungai yang jembatannya baru diresmikan Bupati Gunung Mas Arton S. Dohong pada 15 Desember 2014 itu kini tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan protein warga di sekitarnya.

Boni lantas berkilas balik. Keturunan keenam Toyoi bin Panji –pendiri rumah betang di Tumbang Malahoi– tersebut masih ingat bagaimana semasa kecil dirinya bermain di sungai serta mencari ikan cukup dengan tangan kosong atau alat sekadarnya. Ikan segar yang didapat terkadang dibakar dan langsung disantap begitu saja. Atau kalau banyak bisa dibawa pulang untuk dimasak umai (ibu).

Tapi, cerita itu tinggal kenangan. Generasi di bawah Boni sudah tidak bisa merasakan berkah sei. Limbah merkuri dari tambang emas menghancurkan ekosistem di sana. Ya, tambang emas di atas sungai tersebut hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan penduduk di sekitar sungai.

Ingkit Djaper, teman perjalanan saya yang juga suku Dayak asli, bertutur, Gunung Mas memang menjadi magnet bagi para pemburu ”harta karun”. Seperti namanya, mereka mengincar emas yang terkandung di perut bumi kabupaten yang namanya mencuat ketika Hambit Bintih, kepala daerah itu, pada 2013 menjadi tersangka kasus suap pilkada di Mahkamah Konstitusi yang melibatkan Akil Mochtar.

Sayangnya, banyak di antara pendulang emas itu yang melakukan penambangan liar. Mereka membuang limbah beracunnya serampangan sehingga mencemari Sungai Baringei.

Padahal, merkuri mengandung racun. Jika termakan ikan dan ikan dikonsumsi manusia, dipastikan racun masuk ke tubuh manusia. Hal tersebut sangat berbahaya. Bisa mengakibatkan kerusakan otak, ginjal, dan hati. Kalau sekarang di Sei Baringei tidak ada ikan, artinya paparan pencemaran di sungai itu sudah parah.

Kasus serupa pernah terjadi di Krueng Teunom, Aceh Jaya. Ribuan ikan menggelepar, mengambang, dan kemudian mati lantaran sungai tercemar limbah tambang emas ilegal. Saya juga teringat ketika empat tahun silam meliput aktivitas meno pendulang emas liar di Sungai Kabur, Timika, Papua. Tak ada tanda kehidupan biota air di kali tersebut.

Begitu mengetahui fenomena di Tumbang Malahoi itu, pertanyaan yang saya simpan dalam hati ketika baru menginjakkan kaki di rumah betang terjawab sudah, mengapa ada ikan sarden kalengan di dapur rumah adat Dayak yang dilestarikan tersebut? Padahal, selama menjelajah tanah Borneo, ikan, ikan, dan ikan jadi menu wajib. Tak peduli makan pagi, siang, maupun malam. Kalimantan memang surga kuliner bagi pencinta ikan.

Esoknya tuan rumah memang menghadirkan juhu lauk untuk sarapan. Masakan ikan berkuah itu menemani bari (nasi) serta juhu dawen kayun alias sayur kacang panjang. Dan bisa ditebak, ikan tersebut dibeli dari bakul keliling. ”Ikannya dari daerah lain,” ucap Boni.

Saya lalu membayangkan ”betapa berat” perjalanan yang harus ditempuh ikan itu untuk sampai ke meja makan di rumah-rumah warga Tumbang Malahoi. Maklum, untuk mencapai desa di tengah hutan tersebut, saya harus bertualang off-road. Medan yang mesti dilalui bukan hanya jalan makadam nan terjal berliku. Sebagian besar juga masih berupa tanah merah. Mobil Avanza yang mengantarkan kami sampai ngepot-ngepot di jalanan tanah liat yang licin karena diguyur hujan. Untung, Bang Ingkit yang mengemudikan mobil cukup lihai dan mengenal medan.

Bukan lantaran khawatir mengonsumsi makanan yang disuguhkan itu jika setelah menginap semalam esoknya saya tidak segera sarapan. Ketika Tambik (Nenek) Animar mempersilakan untuk kuman (makan), saya masih asyik memotret banyak sisi dari Rumah Betang Toyoi yang sayang kalau dilewatkan. Termasuk mengabadikan suasana di dapur yang masih menyimpan perlengkapan masak tradisional.

Saat tangan kiri saya masih memegang kamera itulah, mendadak terjadi insiden. Saya terpelanting dari anak tangga rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin berusia ratusan tahun tersebut. Tingginya sekitar 2 meter. Saya terkapar di tanah. Seketika dada terasa sesak, sulit untuk bernapas. Saya sampai tak kuasa untuk bangun. Butuh beberapa menit sampai akhirnya saya bisa duduk lagi. Punggung saya rasanya nyeri sekali.

Untung, saat itu ada Umai Derawani, yang biasa dimintai tolong untuk memijat warga Dayak di Tumbang Malahoi. Dengan sigap umai mengurut saya. Sementara Tambik Animar, sesepuh Rumah Betang Toyoi, langsung mengadakan ritual adat semacam tolak bala. Ketika saya bisa dipapah masuk ke dalam rumah betang berkamar sepuluh itu, sekali lagi ritual diadakan. Kali ini tampung tawar, upacara adat yang semestinya harus sudah dilakoni ketika saya dan rombongan baru datang, tapi tertunda lantaran kami datang terlalu malam.

Untuk upacara adat kedua tersebut, selain diciprati air dengan menggunakan dedaunan, ubun-ubun saya diberi segenggam beras. Saya juga harus menggigit mandau dan upacara diakhiri dengan melingkarkan gelang manik-manik di tangan kanan.

Denar, fotografer Kalteng Pos (Jawa Pos Group) yang menemani, saat itu membisikkan bahwa saya celaka karena ”kualat”. ”Mbak ini kapuhunan. Tadi ditawari makan tidak langsung ambil. Padahal, di sini adatnya kalau ditawari makan harus cepat dimakan. Meski sedikit, yang penting ambil dulu,” papar laki-laki berdarah Dayak tersebut.

Tanah Dayak memang misterius. Kalau saya yang tidak segera makan saat ditawari kuman saja bisa celaka sampai patah tulang punggung dan kini harus bed rest, entah bagaimana nasib para penambang liar yang telah merusak sungai yang menjadi sumber makanan suku Dayak di pedalaman Borneo itu. (*/c9/ari

BACA ARTIKEL LAINNYA... Andreea Rusu, Warga Rumania yang Getol Kenalkan Budaya Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler