Sambil Berbisik, Mami itu Menawarkan Rp 700 Ribu untuk Perempuan 18 Tahun

Selasa, 05 Mei 2015 – 05:05 WIB

jpnn.com - PULUHAN kafe remang-remang di kawasan Pasar Rangge Sentap merupakan kompleks lokalisasi terbesar di Kota Ketapang, Kalimantan Barat. Meski jelas melanggar hukum, gadis-gadis berusia belasan tahun dipekerjakan sebagai pemuas nafsu hidung belang di kawasan ini. 

IDIL AQSA AKBARY, Ketapang

BACA JUGA: Andreea Rusu, Warga Rumania yang Getol Kenalkan Budaya Indonesia

Jarum jam baru menunjukkan pukul 19.30. Suasana lokalisasi Rangge Sentap masih sepi. Dari empat blok ruko dua lantai yang saling membelakangi di kawasan ini, baru beberapa saja yang buka. Ruko-ruko tersebut terdiri dari puluhan kafe remang-remang. 

Sebagian kafe yang sudah buka belum ramai. Beberapa kafe mulai memutar lagu-lagu karaoke, sebagiannya lagi masih lengang. Cahaya ruangan yang redup ditambah hiasan lampu warna-warni jadi ciri khas setiap kafe di sana. Setelah beberapa kali mengitari kawasan ini, kami pun berhenti di depan salah satu kafe. Sebut saja kafe A.

BACA JUGA: Muhammad Rizky Habibi Pembuat Aplikasi ABK

Seorang wanita paruh baya menghampiri. Tanpa basa-basi dia langsung menawarkan diri. Dia hanya seorang diri waktu itu. Menurut perkiraan penulis usianya sudah mencapai 40 tahun  ke atas. Pekerja seks komersil ini menawarkan diri dengan harga Rp 300 ribu untuk sekali main. “Ayo mas sama saya saja, sudah harga paling murah ini,” ucap ibu itu. Karena belum tampak adanya tanda-tanda PSK remaja, lantas penulis pun pergi.  

Lanjut berjalan kaki, jarak sekitar dua tiga ruko dari kafe A terlihat seorang pria berperawakan ceking duduk di bangku teras kafe. Sebut saja kafe B. Pria tersebut bernama Arif, yang mengaku asal Pontianak. “Jam segini masih sepi Bang, belum pada datang, paling jam 09.00 malam baru ramai,” ungkapnya saat ditanyai keberadan wanita penghibur. Waktu itu jarum jam masih menunjukkan pukul 19.55 WIB. 

BACA JUGA: Melihat Warga Harapan Baru Menghukum Para Pasangan Mesum

Selain Arif, di dalam kafe itu ada seorang wanita. Diperkirakan usianya dua puluhan ke atas. Dia sedang bersih-bersih ruangan, menyusun meja dan kursi. Menurut Arif di tempat itu hanya ada satu PSK yang tinggal sekaligus penjaga. “Yang di sini hanya satu Bang. Itu yang lagi beres-beres. Cuma dia lagi dapat Bang, jadi libur dulu,” katanya seraya tersenyum. 

Arif bercerita, kebanyakan para pemandu lagu di tiap kafe sekaligus bekerja sebagai PSK. Sambil berbisik karena suara musik yang semakin lantang, Arif mengatakan, selain menawarkan jasa karaoke, prostitusi menjadi menu andalan di sana. Sekitar pukul 21.00 wanita-wanita pekerja seks itu baru akan berdatangan. Mereka tinggal di kos-kosan yang tersebar di Ketapang.

Umur mereka beragam, dari belasan hingga puluhan tahun. Harganya juga bervariasi, tergantung usia. “Untuk harga saya tidak bisa pastikan. Biasa tergantung kesepakatan dengan pemilik kafe. Yang muda tentu lebih mahal,” ujar pria yang mengaku sudah cukup lama bekerja sebagai penjaga kafe itu.  

Menurut Arif, hampir di setiap kafe menyediakan kamar-kamar untuk memuaskan pelanggan. Di tempatnya sendiri tersedia empat kamar di lantai dua. Bagi yang ingin main di tempat harganya tentu lebih murah dibanding harus membawa ke tempat lain atau yang dikenal dengan istilah longtime service. Setelah bincang-bincang cukup lama, informasi dari Arif sedikit menguak keberadaan gadis belia yang dipekerjakan di sana.

Beralasan sambil menunggu para pemandu lagu itu datang, kami pun berpamitan untuk melihat-lihat tempat lain. Dengan sepeda motor, kami kembali mengitari lokalisasi. Kini suasana semakin ramai. Beberapa kafe yang awalnya masih tutup satu persatu mulai buka. Para tamu, pria-pria pencari hiburan kian berdatangan.  

Seperempat jam berkeliling, kami kembali singgah di salah satu kafe. Sebut saja kafe C. Di teras kafe duduk lima wanita. Warna pakaian mereka mencolok dan seksi. Aktivitasnya beragam. Ada yang sedang berdandan, teleponan, hingga sekadar mengisap sebatang rokok. Waktu itu jam menunjukkan pukul 20.30. 

Mereka terlihat cukup dewasa. Perkiraan rata-rata usianya 20 tahunan. Sambutan mereka pun begitu ramah. Bahkan salah seorang dari mereka tak segan mengaku sebagai pemandu lagu yang pindah dari tempat hiburan di Pontianak.Tepatnya salah satu karaoke, lounge dan spa yang beberapa waktu lalu ditutup. 

“Saya juga dari Pontianak, Bang. Tempat kerja di sana tutup jadi saya pindah ke sini,” ujar gadis itu setelah tahu penulis dari Pontianak. 

Di antara mereka ada satu wanita. Dialah yang disebut Mami, germo yang mengurus para wanita tuna susila di tempat itu. Ditanyai ada atau tidaknya daun muda, membuat mami bergegas memanggil wanita lainnya di dalam ruangan. “Ada dua masih sangat muda. Baru dua hari di sini,” ujar Mami, lantas berteriak memanggil mereka dengan sebutan anak ayam. 

Dari teras kami digiring masuk dan duduk di ruang karaoke. Ruangannya tak terlalu luas. Hanya ada satu layar televisi, empat buah meja dan beberapa bangku dan kursi. Penerangan hanya lampu disko warna-warni yang berputar-putar. Sesekali cahayanya menerangi sebuah poster kecil, potret bule berbikini yang ditempel di dinding, tepat di depan penulis duduk.

Sebelum gadis-gadis itu datang, pintu ruko ditutup setengah, membuat kami tak terlihat dari luar ruko. Belum begitu lama menunggu, mereka pun muncul. Keduanya masih terlihat sangat muda. Dia mengaku dari daerah yang sama di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu. 

Gadis pertama mengenalkan diri dengan nama Bunga, mengaku berusia 18 tahun. Dia mengenakan rok pendek warna biru, lebar dan bergelombang. Taksiran penulis, usianya belum genap 18 tahun. Mungkin baru 15 tahun. Sebab parasnya begitu mungil. Tingginya kira-kira hanya 150 sentimeter.

ABG kedua secara fisik tak jauh berbeda dengan Bunga. Mengaku bernama Feby, berumur 19 tahun. Sama seperti Bunga, usia Feny ditaksir belum 19 tahun. 

“Kami tinggal satu kampung di Putussibau, baru dua hari di sini,” tutur gadis yang memakai eyeshadow silver itu. 

Feby bercerita, mereka berdua diajak seorang teman yang juga tinggal sekampung dengan mereka yang lebih dulu bekerja di Rangge Sentap. “Sekarang dia lagi pulang kampung Bang tidak ada di sini,” katanya saat ditanyai keberadaan teman yang membawa mereka itu.

Meski mengaku baru bekerja di sana, sedikit pun mereka tidak memperlihatkan kecanggungan. Bahkan masing-masing dari mereka tak segan memesan sebotol bir hitam dan sebungkus rokok. Lantas bernyanyi tanpa beban untuk menghibur kami. Dari perbincangan dengan Feby diketahui gadis itu sempat sekolah di salah satu SMP di Kota Pontianak.

“Begitu lulus pernah kerja di kampung, tapi tidak lama, akhirnya memutuskan kerja di sini,” ujarnya sambil menghembuskan asap rokok.

Setelah beberapa jam bercakap-cakap sambil karaoke, sang Mami muncul dan menawarkan harga. Setengah berbisik dia berkata, harga masing-masing gadis Rp 700 ribu untuk main di tempat. Jika ingin dibawa keluar atau dibawa ke hotel harganya naik jadi Rp 1,3 juta per gadis. “Harga masih bisa nego dikit Bang, soalnya ini barang baru jadi harga segitu udah murah lah,” katanya merayu. 

Ketika informasi yang didapat dirasa cukup, berdalih harga yang terlalu tinggi kami pun bergegas untuk pergi. Dari bon yang dibayar, harga pemandu lagu yang menemani selama beberapa jam itu hanya Rp30 ribu per orang. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pamerkan Foto Bemo Sampai Wali Kota Zaman PKI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler