jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Peneliti Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) Yaya Rayadin menyebutkan saat ini habitat orang utan sangat terancam. Hal ini berdampak pada menurunnya populasi hewan primata tersebut.
Yaya menuturkan, untuk bisa melindungi orang utan, harus dijaga habitat aslinya agar tidak bergesekan dengan makhluk lain, terutama manusia.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Tangisan Bikin Merinding, Bursa Transfer, Perintah Baru, ASN Harus Tahu
"Perlindungan terhadap orang utan masih menghadapi persoalan yang sama. Habitat mereka semakin sempit karena dipergunakan untuk perkebunan, pertambangan, hutan tanaman,” ujar Yaya.
Dia menyebutkan bahwa kasus-kasus seperti orang utan ditembak, terjerat, dan lain-lain hanya menjadi bagian kecil kasus konflik dengan manusia.
BACA JUGA: BKSDA Kalimantan Timur Menyelamatkan Orang Utan di Bontang
Apabila ingin memberi perlindungan maka agenda besarnya adalah memelihara dan menjaga habitat orang utan, agar bisa tetap leluasa mencari makan dan berkembang biak.
Persoalan pengelolaan habitat tidak berhenti di situ saja karena perlindungan habitat orang utan ini berhadapan dengan perambahan hutan dan penebangan liar yang juga bisa mengancam kelangsungan satwa ini di habitatnya
BACA JUGA: KLHK Menyelamatkan Orang Utan Liar yang Masuk Kota
Pemerintah selain mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi habitat orang utan, juga punya tanggung jawab wilayah untuk terlibat secara langsung melindungi orang utan yang ada di kawasan taman nasional maupun areal konservasi.
Menurut Yaya beban melindungi habitat orang utan tersebut haruslah dibagi juga kepada pihak swasta, karena faktanya hampir 90 persen populasi orangutan justru berada diluar kawasan konservasi
Diketahui, pemerintah telah mewajibkan pemilik usaha kehutanan untuk menyediakan minimal 10 persen lahan yang dikelolanya untuk kawasan konservasi.
"Katakan dengan luasan lahan 100.000 hektare yang dikelola perusahaan minimal bisa menyediakan 10.000 hektare untuk konservasi. Itu sudah bisa menyelamatkan 1 kelompok populasi orang utan dengan jumlah 100 individu," ujar Yaya.
Lebih lanjut menurut peneliti yang juga pengajar Fakultas Kehutanan di Universitas Mulawarman ini, habitat dan populasi orang utan yang berada di luar kawasan konservasi, yang jumlahnya hampir 90 persen dari jumlah populasi orang utan di dunia, sudah seharusnya mendapat perhatian yang lebih serius.
"Saat ini sudah ada model konservasi orang utan yang sudah cukup baik antara lain untuk populasi orang utan yang berada di perusahaan yang bisnisnya di ranah Hutan Tanaman Industri (HTI),” ujar dia.
Salah satu yang patut diapresiasi dan sudah dapat dijadikan model konservasi orang utan adalah langkah yang diambil PT Multi Kusuma Cemerlang (MKC), perusahaan HTI karet yang berlokasi di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Anak usaha PT Royal Lestari Utama yang mengembangkan perkebunan karet alam terintegrasi tersebut telah menyediakan lebih dari 9 ribu hektare atau hampir 50 persen dari lahan konsesi yang dikelolanya untuk kawasan konservasi bagi orang utan dan biodiversity yang ada di dalamnya.
Upaya menyediakan, mengelola dan melindungi habitat orangutan didalam konsesi perusahaan harus menjadi model dalam perlindungan habitat orang utan.
Selain itu, MKC juga melakukan pelatihan untuk tim penyelamat orangutan dan secara berkelanjutan melakukan survey dan menjaga habitat satwa dilindungi tersebut.
Perusahaan juga melakukan pemantauan orang utan dengan memasang camera trap dan melakukan pemetaan dengan menggunakan drone.
Di Kalimantan Timur sendiri, kolaborasi antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai, serta Ecositrop telah membentuk Tim Satuan Tugas Penyelamatan Orang Utan dalam melakukan upaya konservasi dan penyelamatan populasi orang utan di kawasan HTI.
Sejak 2010 team satgas ini telah melaksanakan patroli perlindungan orang utan dan habitatnya. (cuy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan