Perlu Ada Transformasi Kesehatan untuk Pasien Gagal Ginjal di Indonesia

Kamis, 29 September 2022 – 11:33 WIB
Diskusi publik World Patient Safety Day 2022 bertajuk Dampak Kebijakan Kelas Standar BPJS Kesehatan terhadap Pelayanan Pasien Gagal Ginjal. Foto: dok KPCDI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir mengapresiasi sistem transformasi kesehatan di Indonesia.

Tony berharap ke depan pelayanan dan keselamatan untuk pasien akan makin baik di Indonesia.

BACA JUGA: Ini 5 Gejala Awal Gagal Ginjal yang Kerap Disepelekan

Hal itu disampaikan Tony dalam diskusi publik World Patient Safety Day 2022 bertajuk “Dampak Kebijakan Kelas Standar BPJS Kesehatan terhadap Pelayanan Pasien Gagal Ginjal”, di Jakarta, Rabu (28/09).

Tony Samosir yang juga pasien ginjal kronis dan transplantasi ginjal menyebutkan tiga transformasi kesehatan di Indonesia.

BACA JUGA: Hati-Hati! Hipertensi Bisa Sebabkan Penyakit Jantung, Strok dan Gagal Ginjal

Pertama, transformasi layanan rujukan. Menurutnya, sistem rujukan untuk pasien ginjal dengan modalitas hemodialisis bisa diimplementasikan untuk pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal.

Kedua, transformasi pembiayaan kesehatan. Tony menegaskan pentingnya sistem pembiayaan  yang adil dan meniadakan kesenjangan biaya dan alokasi biaya pada masing-masing komponen yang dibutuhkan dalam menangani pasien penyakit ginjal kronis.

BACA JUGA: Bisa Akibatkan Gagal Ginjal, Ini 4 Bahaya Konsumsi Petai Secara Berlebihan

Ketiga, transformasi teknologi kesehatan. Tony mendorong perlunya pengembangan dan pemanfaatan teknologi kesehatan dalam menjembatani akses ketersediaan informasi kesehatan ginjal dan layanan dialisis untuk pelayanan dan keselamatan untuk pasien.

“Beberapa pasien yang kami temukan, ada pelayanan kesehatan malah lebih suka menutup akses vaskular (cimino) daripada memperbaikinya. Selain tindakan cuci darah, kami juga membutuhkan obat-obatan rutin,” sambungnya.

KPCDI berharap dengan adanya aturan skema tarif yang berkeadilan bisa menemukan win win solution sehingga pasien bisa mengakses kebutuhan mereka.

“Kami berharap semoga pasien gagal ginjal ini lebih berkualitas lagi hidupnya agar bisa berkarya demi Indonesia yang lebih baik,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena yang hadir secara daring menaruh perhatian pada pasien ginjal.

Dia mengatakan dalam diskusi dengan Kemenkes RI dan BPJS Kesehatan, Komisi IX DPR RI ingin melakukan peningkatan promotif preventif untuk meminimalisir terjadinya peningkatan penyakit ginjal.

“Di antaranya melalui roadmap yang didalamnya mengandung unsur penguatan Undang-Undang, pengembangan jaminan sosial, penguatan kelembagaan jaminan sosial, dan monitoring evaluasi,” kata dia.

Politisi Partai Golkar yang akrab disapa Melki ini menegaskan gagal ginjal termasuk penyakit tidak menular yang berbiaya tinggi. 

Dia menambahkan, cuci darah dan transplantasi ginjal memang memerlukan biaya besar. Pihaknya bersama anggota Komisi IX mendukung berbagai pihak untuk bisa memberi perhatian khusus pada penderita gagal ginjal.

“Kami mencari pola untuk mendukung pasien dengan baik serta menyusun konsepnya,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Vaskular dan Endovaskular Indonesia (Pesbevi), dr. Dedy Pratama mengatakan kualitas hidup Pasien Ginjal Kronis (PGK) harus diperbaiki, salah satunya dengan hemodialisa.

“PGK memiliki prognosis buruk dan biaya tinggi. Komplikasinya juga harus ditangani dan memerlukan biaya tinggi,” katanya.

Menurutnya, hemodialisa modalitas yang paling banyak digunakan dan sangat bergantung pada akses vaskular.

Dia menambahkan vaskular akses idealnya reliabel, bebas dari infeksi dan sesuai dengan kebutuhan pasien.

“Pasien seharusnya sudah menggunakan akses vaskular permanen pada saat hemodialisa karena perlu waktu untuk maturasi sehingga vaskular siap pakai. Biasanya sekitar 6 minggu untuk menyiapkan akses vaskular,” terangnya.

Pihaknya mewanti-wanti didalam menangani pasien gagal ginjal perlu kerja sama yang baik dari semua stakeholder.

Menurutnya, idealnya akses vaskular permanen untuk hemodialisa sudah disiapkan sebelum dilakukan hemodialisis.

“Selain itu, efektivitas tindakan dan efisiensi biaya dalam kasus hemodialisis dan akses vaskular harus seimbang,” katanya.

Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), dr. Aida Lydia memberikan lima solusi dalam mencegah dan mengobati PGK. Pertama, meningkatkan pencegahan.

“Terapkan strategi pengelolaan PGK sesuai tahapan progresifitas,” katanya.

Kedua, meningkatkan pemerataan layanan dan jumlah SDM di antaranya melalui mapping kebutuhan layanan, lokasi layanan dan SDM.

Ketiga, meningkatkan rujukan tepat waktu, dengan memastikan program pencegahan dapat berjalan baik, pasien yang membutuhkan terapi pengganti ginjal bisa disiapkan dengan baik, pemasangan kateter dialisis bisa dicegah, serta lama perawatan singkat sehingga menghemat biaya.

Keempat, mengidentifikasi dan terapi komplikasi PGK, seperti anemia, gangguan mineral dan tulang.

Kelima, meningkatkan edukasi kepada masyarakat mengenai kesehatan ginjal melalui gerakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan ginjal.

“Ginjal sehat untuk semua, menjembatani kesenjangan pengetahuan untuk kesehatan ginjal yang lebih baik,” pungkasnya.

Adapun keynote speech acara ini adalah Plt. Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, drg. Murti Utami yang mewakili Menteri Kesehatan RI. Narasumber lain antara lain Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, dr. Lily Kresnowati, M.Kes; serta Pelaksana Harian Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, drg. Doni Arianto, MKM.  (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler