Velix Wanggai, MPA - Direktur Riset The IRIAN Institute

Perlu Formula Jalan Tengah Dalam Renegosiasi Freeport

Rabu, 08 Maret 2017 – 20:50 WIB
The Institute for Regional Institution and Networks (The IRIAN Institute), Velix Wanggai, MPA. FOTO: Dok.pri for JPNN.com

jpnn.com - Dalam beberapa pekan ini, isu Freeport Indonesia menyita perhatian di arena publik, termasuk di komunitas internasional. Jika disimak baik, soal eksploitasi tambang tembaga dan emas oleh Freeport McMoran berjalan seiiring dinamika politik pembangunan nasional maupun politik pembangunan Papua dengan berbagai pro dan kontranya.

Menyikapi isu Freeport Indonesia, the IRIAN Institute memandang perlunya suatu formula jalan tengah, 'win-win mindset', dalam menyelesaikan kontroversi ini.

BACA JUGA: Massa Tuntut Freeport Patuh pada Hukum di Indonesia

Pertama, the IRIAN Institute memandang semua pihak harus memiliki platform bersama dalam mencari solusi soal Freeport. Diakui, investasi asing adalah bagian penting dalam pembangunan nasional dan pembangunan Papua.

Freeport hadir di Indonesia sejalan dengan sejarah geo-politics dan geo-economics Indonesia di transisi pemerintahan Orde Baru. Karena itu, berbicara masa depan Freeport Indonesia adalah tidak hanya berdialog soal kalkulasi ekonomi semata, namun soal Freeport adalah soal geo-politics Indonesia di kawasan Asia Pasifik.

BACA JUGA: Peradi Siap Dampingi Pemerintah Lawan Freeport

Untuk itu, keputusan jalan tengahnya adalah memadukan latar historis Freeport dan kondisi perkembangan pembangunan kekinian yang menuntut penyesuaian struktural (structural adjustment) aturan pertambangan.

Poin kedua, the IRIAN Institute dalam mengusulkan agar dalam renegosiasi Freeport, para pihak perlu mengedepankan kepentingan masa depan pembangunan Tanah Papua. Selama ini pihak Freeport Indonesia memperoleh porsi saham yang besar dan tersisa kecil untuk Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah Provinsi Papua tidak ada ruang memiliki saham.

BACA JUGA: DPR Ungkap Data Kontribusi Papua ke Negara

Karena itu, jalan tengahnya adalah diperlukan kebijakan asimetris untuk Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Timika dan beberapa kabupaten sekitarnya untuk memperoleh porsi saham dan berbagai benefit lainnya. Hal ini sejalan dengan semangat Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat.

Saat ini adalah momentum yang tepat bagi Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua untuk menata kembali hubungan fiskal antara Jakarta - Papua.

Implikasinya, The IRIAN Institute menilai saatnya Pemerintah berinisiatif mengubah UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang terkait dengan kebijakan keuangan yang asimetris dalam pengelolaan sumber daya alam.

Aspek ketiga, diperlukan jalan tengah dalam hubungan Pemerintah Papua - Freeport Indonesia. Diakui bahwa selain ada sisi negatif, namun kehadiran investasi Freeport Indonesia telah memiliki dampak positif dalam pertumbuhan pembangunan Papua, Timika dan sekitarnya. Paling tidak, manfaat finansial langsung kepada pemerintah lebih dari US$ 16,5 milliar sejak tahun 1991.

Namun, untuk kepentingan jangka panjang investasi Freeport, maka dibutuhkan 'win-win outcome' yang menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam hal ini, sejak 2013 lalu Gubernur Papua, Lukas Enembe, telah mengusulkan 17 poin sebagai 'standing position' Pemerintah Papua yang harus dibijaki Freeport dalam kerangka renegosiasi.

Ke-17 tuntutan itu antara lain, yakni porsi divestasi saham, pengurangan luas wilayah operasi, isu lingkungan hidup, royalti, pajak air permukaan, industri hilirisasi tambang di Papua, penguatan peran serta orang asli Papua dalam manajemen Freeport, pembenahan community development, pelibatan pengusaha Papua dalam operasi penambangan, penguatan kualitas SDM tenaga kerja orang asli Papua, dan akomodasi hasil-hasil pertanian (dalam arti luas) petani dan nelayan Papua dalam supply pangan Freeport, perpindahan kantor pusat Freeport ke Papua, dan peningkatan peran Bank Papua dalam mendukung operasi karyawan Freeport.

17 Tuntutan Pemda Papua adalah sesuatu yang wajar dalam keberlangsungan operasi Freeport dalam jangka panjang, termasuk tuntutan pajak air permukaan sekitar Rp 3,5 triliun yang ditunggak Freeport ke Pemda Papua.

Karena itu, 17 poin dari Pemda dapat dijadikan acuan di dalam proses re-negosiasi Kontrak Karya Freeport.

Sedangkan poin keempat, diperlukan jalan tengah dalam pola hubungan Freeport - masyarakat adat dan masyarakat Papua secara umum. Untuk diperlukan skema baru yang tepat yang berkelanjutan dan berkeadilan dalam formula bentuk 'golden share' kepada masyarakat adat pemilik ulayat dan sebaliknya, tidak hanya sekedar 'charity fund' dari Freeport. Karena itu, diperlukan penataan ulang pola-pola program community development yang lebih bersifat mandiri dan berkelanjutan.

Dalam konteks ini, Pemerintah perlu merancang pola penyertaaan saham yang memihak kepada masyarakat adat dalam skema 'golden share' kepada suku Amungme, Komoro, Moni, Dani, Duga, Damal, dan Mee, serta pola kelembagaan dalam mengelola dana 'golden share' itu. Tidak hanya itu, diperlukan skema bantuan keuangan Freeport kepada masyarakat Papua secara umum dalam konteks percepatan pembangunan wilayah adat Saireri, Ha'anim, La Pago, Me Pago dan Tabi. Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan berbasis 5 adat yang telah dirancang dalam RPJMN tahun 2015-2019.

Poin kelima, the IRIAN Institute menilai bahwa isu Freeport merupakan momentum bagi Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua untuk menata ulang skenario pembangunan Papua dan Papua Barat terkait kebijakan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan minyak dan gas yang akan terus berkembang di Tanah Papua. Diperlukan formula yang berpihak bagi Papua guna akselerasi pembangunan dalam payung Otonomi Khusus, pelibatan masyarakat adat dan pengembangan spasial yang terpadu di Tanah Papua.

Sebagaimana RPJMN 2015-2019 telah mendesain arah pengembangan wilayah Pulau Papua, maka diperlukan langkah nyata yang bersifat tematik, holistik, integratif dan sinkronisasi (THIS) dalam skenario pengembangan wilayah Papua tanpa memarginal orang asli Papua.

Sementara itu, poin keenam, dimana terlepas dari perdebatan payung hukum antara rezim kontrak karya dan rezim Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), para pihak perlu menyadari bahwa selama ini Freeport menjadi sumber utama, paling tidak, tumpuan tunggal investasi di Tanah Papua yang telah menggerakkan ekonomi Papua dengan segala pro-kontra.

Hal itu seperti tampak dari serapan tenaga kerja orang asli Papua dalam operasi Freeport. Munculnya Kabupaten Mimika lahir dari embrio kebijakan Pengembangan Wilayah Timika Terpadu (PWT2) di tahun 1996 dengan Freeport sebagai tumpuan utama dari sosial ekonomi Mimika. Sebagai sentra ekonomi di Papua, Freeport dan Mimika menjadi 'gula' yang menarik arus migrasi ke kawasan Mimika.

Karena itu, perlu jalan tengah di dalam mensepakati substansi atau materi sebelum berbicara soal Kontrak Karya ataukah IUPK.

Dalam hal ini, The IRIAN Institute mengusulkan 2 Opsi jalan tengah terkait payung hukum yang dipakai Freeport.

Opsi I, Freeport tetap berbasis rezim Kontrak Karya, namun secara substansi telah terjadi perubahan yang lebih bersifat nasionalis serta berpihak bagi kepentingan nasional, daerah Papua dan masyarakat Papua.

Ataukah, Opsi II, kontrak karya Freeport berubah dengan payung rezim IUPK namun secara substansi diperoleh 'win-win outcome' bagi semua pihak.

Namun dalam kaitan ini, maka secara internal, diperlukan kejelasan dan kepastian hukum kepada Freeport seputar surat Menteri ESDM perihal jaminan investasi Freeport tertanggal 7 Oktober 2015 dengan berbagai perubahan aturan sebagaimana Permen ESDM No. 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 pada 11 Januari 2017. Sehingga dapat ditemui jalan tengah di dalam proses renegosiasi kontrak karya.

Kiranya jalan tengah yang tetap menghormati prinsip kedaulatan nasional dan platform kerjasama ekonomi dalam konteks Comprehensive Partnership between the Republic of Indonesia dan the United States yang diluncurkan pada November 2010.

Sedangkan poin terakhir, The IRIAN Institute mengusulkan kontroversi Freeport ini, Pemerintah perlu mendialogkan soal masa depan pembangunan Papua.

Melalui para pihak duduk bersama untuk mendengar dan berbicara dari hati ke hati soal arah besar pembangunan Papua.

Disadari bahwa dinamika internasionalisasi isu Papua di luar negeri dewasa ini perlu disikapi dengan tepat sebagai perubahan geopolitics yang berimbas terhadap pembangunan Papua.

Karena itu, The IRIAN Institite mendesak sudah saatnya digelar Dialog Pembangunan Ekonomi Papua - Jakarta, sebagaimana amanat dalam Buku III RPJMN 2015-2019 yang dipayungi dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015.

Dalam Dialog Pembangunan ini, perlu letakkan agenda re-negosiasi Freeport sebagai salah satu agenda, seiiring dengan agenda penguatan masyarakat adat, masa depan revisi UU Otonomi Khusus, akselerasi pembangunan Tanah Papua, isu hak asasi manusia dan human security dalam pembangunan, dan berbagai agenda strategis lainnya.

Semoga prinsip 'win-win mindset' menjadi pilihan kebijakan dalam menata investasi di sektor mineral dan sekaligus, memberdayakan dan menpercepat pembangunan Tanah Papua.

Kiranya komitmen untuk menata pembangunan Papua ini sejalan dengan visi Indonesia dari pinggiran.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Tokoh Papua Berdebat Soal Kontribusi Freeport


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler