Perlu Gerakan Advokasi Bersama Untuk Selamatkan Buruh Migran Asal NTT

Minggu, 19 Januari 2020 – 20:17 WIB
Petrus Selestinus. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dalam beberapa bulan terakhir perwakilan para Buruh Migran asal NTT yang bekerja di Perusahaan Swasta (Kelapa Sawit) di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat datang ke Jakarta. Kedatangan mereka untuk mencari perlindungan hukum dan keadilan.

“Karena hak-hak atas upah dan tunjangan yang menjadi hak normatif para buruh, yang dijamin oleh UU Ketenagakerjaan, oleh Perjanjian Kerja dan oleh Peraturan Perusahaan yang sudah mengatur sifat, jenis dan hak-hak atas upah dan tunjangan serta stàtus kerja Buruh dilanggar oleh majikan,” kata Advokat Peradi, Petrus Selestinus dalam keterangan persnya, Minggu (19/1).

Petrus menilai sekitar 1.000 lebih Buruh asal NTT mengalami pengalaman buruk dan sangat traumatis di PT. Wahana Tritunggal Cemerlang di Kutai Timur, Kalimantan Timur yang sudah 2 (dua) bulan mengungsi di Kantor Camat Karangan, Kutai Timur, Kaltim. Selain itu, tidak kurang dari 780 (tujuh ratus delapan puluh) buruh PT. Yudha Wahana Abadi asal NTT di Kabupaten Bereau, Kaltim, saat ini melakukan mogok kerja massal menuntut hak-haknya karena tidak dibayar. Bahkan diusir keluar dari pabrik dengan memperalat aparat Polri dan warga desa setempat.

BACA JUGA: Penjelasan Pejabat Kemenko Perekonomian soal Upah Buruh per Jam

Lebih lanjut, Petrus mengungkapkan ribuan buruh asal NTT di Perusahaan Kelapa Sawit di Kabupaten Katingan, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, serta beberapa tempat lainnya, juga mengalami nasib yang sama, dan dengan modus yang sama digunakan oleh majikan meski dari perusahaan berbeda. “Yaitu PHK massal tanpa pesangon, upah rendah di bawah standar kelayakan dan hak-hak atas tunjangan yang normatif tidak dibayar dan ujung-ujungnya Polisi dan Warga lokal diperalat untuk mengusir Buruh keluar dari pabrik dan Barak reot di mana mereka tinggal. Ini Perbudakan,” tegas Petrus.

Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini mengatakan meskipun kondisi perbudakan ini sudah dialami oleh puluhan ribu buruh asal NTT di berbagai Perkebunan Kelapa Sawit dan sebagian di Perusahaan batu bara selama bertahun-tahun, akan tetapi tidak ada satu pun yang mau mengambil langkah untuk memberikan perlindungan hukum. Meskipun di tengah praktik perbudakan yang sangat menyayat hati terjadi, namun mereka tetap bekerja demi mempertahankan hidup.

BACA JUGA: Soal Pembentukan Omnibus Law, Pemerintah Diminta Libatkan Buruh

Padahal, kata Petrus, persoalan buruh migran asal NTT tersebut sudah diekspose oleh media dan dibaca oleh pihak penentu kebijakan mulai Presiden, Menteri Tenaga Kerja, Pimpinan Organisasi Buruh, DPR RI, DPD RI, Gubernur NTT dan lain sebagainya.

Petrus menambahkan secara umum persoalan Buruh Migran asal NTT di Kalimantan dan di Papua menyangkut masalah jam kerja dan hak-hak atas upah yang layak diabaikan. Jika terjadi PHK maka selalu di PHK secara massal tanpa pesangon, meski Buruh sudah bekerja bertahun-tahun, dengan pekerjaan yang jenis dan sifatnya permanen, akan tetapi tidak pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Malah menjadi Karyawan Kontrak sepanjang tahun, BPJS Kesehatan dibayar akan tetapi ketika berobat Buruh harus bayar sendiri.

BACA JUGA: Respons Petrus Selestinus Terkait SP3 KPK

“Banyak Buruh yang sudah bekerja bertahun-tahun, namun tidak memiliki BPJS, tidak diberikan Cuti Hamil dan melahirkan, dan lain sebagainya,” katanya.

Oleh karena itu, Petrus mengajak para tokoh NTT yang berkecimpung di Media Nasional dan Lokal (Tokoh Pers), Politikus di Partai Politik, Anggota DPR RI, Advokat-Advokat, Pimpinan Buruh (KSPSI, KSPI, FBSI dan lain-lain), Tokoh Masyarakat, Gubernur NTT, Wakil Gubernur NTT, DPRD NTT, DPD RI semua asal NTT untuk bersatu melakukan Gerakan Advokasi Bersama membatu Saudara-Saudara kita yang menjadi korban perbudakan yang dipraktikkan oleh Perusahaan yang berkantor megah di Jakarta.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler