Perlu Penguatan Ideologi Pancasila dan Nalar Sehat untuk Lawan Budaya Kematian

Oleh: Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP

Sabtu, 03 April 2021 – 16:37 WIB
Romo Benny Susetyo. Foto: tangkapan layar Instagram

jpnn.com - Tidak lama ini terjadi dua peristiwa memilukan di negara kita tercinta. Pertama adalah bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar dan kedua adalah aksi teror penyerangan yang terjadi di Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri).

Aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar yang terjadi pada hari Minggu 28 Maret 2021 itu setidaknya menyebabkan 20 orang mengalami luka-luka dan 2 pelaku tewas seketika di tempat. Sedangkan aksi penyerangan di Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret kemarin menggemparkan publik.

BACA JUGA: Amien Rais Sentil Masa Jabatan Presiden Tiga Periode, Romo Benny: Itu Ilusi

Seorang perempuan, tiba-tiba mendatangi kompleks Mabes Polri dan melakukan penembakan terhadap anggota Polri. Polisi pun berhasil melumpuhkan pelaku dengan menembakan di bagian jantung yang membuat tewas di tempat.

Dua kejadian tersebut dan peristiwa kejian serupa yang pernah terjadi sebelumnya merupakan bukti bahwa aksi terorisme masih berkembang di bumi pertiwi ini. Aksi bom bunuh diri ini sudah menjadi sebuah budaya yang disebut dengan budaya kematian.  

BACA JUGA: Romo Benny: Nilai Kemanusiaan Hilang, Sudah Seperti Robot

Budaya kematian (Culture of Death) adalah suatu budaya yang tidak lagi bersahabat dengan sistem kehidupan manusia dengan menempatkan manusia pada posisi objek yang bisa memusnahkan kehidupan itu sendiri.

Persoalan kekerasan yang berkaitan dengan budaya kematian ini berkaitan dengan eksistensi manusia. Manusia memiliki sikap kebinatangan ketika dirinya dalam situasi terdesak. Sikap ini biasanya keluar ketika dirinya tidak mendapatkan eksistensi dan mencari jati dirinya.

BACA JUGA: Melawan Radikalisme dengan Moral Ideologi Pancasila

Ketika seseorang mecari jati diri dan bertemu dengan orang atau lingkungan yang tidak seharusnya ini akan mempengaruhi pemikiran dan sikap seseorang baik akan digunakan untuk kepentingan perebutan kekuasaan, kepentingan polotik, kepentingan individu dan lain untuk menjadikan seseorang sebagai alat kekerasan yang dirinya yakini akan mendapatkan surga.

Di era digitalisasi ini muncul masalsah yaitu hilangnya kesadaran yang digantikan dengan kesadaran palsu. Munculnya kesadaran palsu ini menjanjikan ideologi kematian yang diartikan dapat memecahkan masalah ke frustasian, luka batin, masalah kesenjangan sosial, luka batin. Kesadaran palsu ini diyakini sebagai cara untuk mendapatkan surga yang semu.

Dalam hal ini bangsa mengalami kegagapan dan cara satu-satunya adalah menciptakan kesadaran kritis melalui pendidikan kritias.

Kesadaran kritis harus disadarkan semua pihak bahwa ini persoalan kemanusiaan yang kehialangan kemanusiaannya yang hanya dijadikan alat mekanisitis yang banyak dimanfaatkan oleh kepentingan politik sesaat. Jalan maut ini bisa masuk melalui media sosial, rekruitmen, dan banyak celah lainnya.

Ada beberapa cara untuk melawan budaya kematian ini yaitu dengan memperkuat idoelogi Pancasila yang ditanamkan dalam cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi. Sudah banyak orang yang terpapar budaya kematian ini sadar dan kembali kepada jalan yang seharusnya. Inilah yang harus ditampilkan kepada publik untuk mendeskripsikan bagaimana bahaya budaya kematian ini.

Selian itu, harus dilakukan patoroli atau pengawasan dimedia sosial terhadap konten-konten negatif yang bermuatan atau mengarah kepada budaya kematian ini. Jangan diberikan ruang dan masyarakat harus aktif melaporkan jika menemukan konten ini. Baiknya masyarakat juga membuat konten tandingan yaitu konten positif guna mengisi ruang publik dengan hal yang bermanfaat.

Masyarakat harus bijak dalam mengolah informasi dan wasapada terhadap budaya kematian. Janji surga yang ditawarkan oleh budaya kematian adalah semu karena menganggap semua solusi permasalahan adalah kematian.

Padahal orang yang mecintai tuhannya tidak akan mungkin menyakiti sesamanya bahkan hingga menghilangkan nyawa demi sebuah janji palsu.

Orang yang menyakiti sesamanya adalah orang yang melukai wajah Tuhan. Yang dibutuhkan saat ini adalah nalar yang sehat sebagai obat untuk menciptakan kesadaran dalam racun dunia era digitalisasi.***


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler