Perlukah Kebijakan Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Dilanjutkan?

Selasa, 01 September 2020 – 13:54 WIB
Rokok ilegal alias tanpa cukai. Foto/ilustrasi: DJBC

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau atau simplifikasi akan kembali dijalankan, sesuai Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.

Beleid ini juga telah menjadi bagian dari rencana strategis ke depan yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 77 Tahun 2020.

BACA JUGA: Kebijakan Cukai Rokok Harus Mengharmonisasikan Semua Kepentingan

Namun seberapa perlu kebijakan penyederhanaan ini kembali dijalankan?

Partner Research and Training Services DDTC Bawono Kristiaji menjelaskan bahwa sistem yang ada saat ini memang rumit dan perlu diperhatikan pengawasannya.

BACA JUGA: Pengendalian Tembakau Lewat Simplifikasi untuk Wujudkan Kesehatan yang Lebih Baik

Meski Indonesia telah memangkas total layer tarif cukai hasil tembakau yang mencapai 19 layer pada 2010 menjadi tinggal 10 lapisan tarif CHT, namun lapisan tarif cukai tembakau masih perlu disimplifikasi lebih lanjut.

Karena itu Bawono memberikan dukungan kepada pemerintah agar tetap melanjutkan aturan yang sebelumnya juga tertuang dalam PMK 146 Tahun 2017.

BACA JUGA: Pulihkan Ekonomi & Pariwisata, Indonesia Corporate Travel and MICE Digelar di 5 Kota

"Simplifikasi tarif cukai hasil tembakau akan memberikan level playing field antar karakteristik industri hasil tembakau. Jadi antara karakteristik, pangsa pasar dan kemampuan ekonomis head-to-head supaya tidak terlalu banyak pihak yang memanfaatkan lapisan-lapisan tersebut," imbuh Bawono.

Sementara Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu memberikan pendapat yang berbeda.

GAPPRI sepakat agar struktur tarif CHT sebanyak 10 lapisan tarif dipertahankan. Hal ini disebabkan struktur tarif tersebut dinilai mampu mempertahankan serapan tenaga kerja, volume produksi, serapan bahan baku lokal, termasuk menekan peredaran rokok ilegal.

Wawan Juswanto, analis kebijakan ahli madya BKF Kemenkeu menuturkan sejatinya kebijakan cukai hasil tembakau tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara dan juga mencakup industri dan sektor ketenagakerjaan.

Wawan juga menambahkan dalam membuat kebijakan dan tarif cukai yang diejawantahkan di PMK 77/2020, sektor SKT selaku sektor padat karya akan tetap diperhatikan.

“Kami setuju bersama ingin mendorong yang padat karya. Jadi kami memberikan prioritas yang padat karya dalam struktur tarif cukai," tandasnya.

Kenaikan tarif cukai rokok sejalan dengan target penerimaan akhir 2021. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2021, Kemenkeu mematok penerimaan cukai sebesar Rp178,5 triliun. Jumlah tersebut naik 3,6 persen year on year (yoy) dibanding outlook akhir tahun ini yang mencapai Rp172,2 triliun.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler