Pernyataan Jaksa Agung Tegas Banget Soal Hukuman Mati Bagi Koruptor, Begini

Kamis, 18 November 2021 – 23:49 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan, penolakan aktivis hak asasi manusia (HAM) terhadap hukuman mati, termasuk bagi koruptor, tidak bisa diterima begitu saja.

Menurutnya, sepanjang konstitusi memberi ruang yuridis dan kejahatan yang dilakukan sangat nyata merugikan bangsa dan negara, maka hukuman mati terhadap koruptor dapat diterapkan.

BACA JUGA: Emil Dardak Ingatkan Pentingnya Pembangunan Infrastruktur Digital

"Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menerapkan hukuman mati," ujar Burhanuddin dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, secara daring, Kamis (18/11).

Burhanuddin mengatakan perlu menyadari bahwa eksistensi 'hak asasi' harus bergandengan tangan dengan kewajiban asasi.

BACA JUGA: Tega Banget, Hanya Karena Istri Tolak Begituan, Terjadi Peristiwa Kebun Karet

Dengan kata lain, negara akan senantiasa melindung hak asasi setiap orang, tetapi di sisi lain setiap orang juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain.

ST Burhanuddin kemudian menjelaskan, pola dasar hukum Pancasila yakni adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban.

BACA JUGA: Banyak Banget PNS Aktif Terindikasi Terima Bansos, Puluhan Ribu Orang

Hal tersebut merupakan keharusan agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

"Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun," katanya.

Menurut Jaksa Agung, dari sistematika penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945 tampak adanya suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutup.

Ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kemudian dalam pasal penutup HAM yaitu di Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak.

"Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar undang-undang," katanya.

Selain terkait HAM, persoalan lain dalam penerapan hukuman mati terhadap koruptor adanya pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.

Terhadap argumentasi tersebut, Jaksa Agung lanta mengajukan sebaliknya, apabila sanksi pidana mati terhadap koruptor dihapus, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?

"Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru makin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya dilakukan berbagai terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi," katanya.

Jaksa Agung sebelumnya menggulirkan wacana hukuman mati terhadap koruptor, berkaca dari dua kasus megakorupsi yakni pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya.

Kedua kasus korupsi tersebut berdampak besar bagi masyarakat luas, terutama pegawai dan anggota asuransi tersebut.

Kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, yakni Rp 16,8 triliun untuk kasus Jiwasraya dan Rp 22,78 triliun di kasus Asabri.

Selain itu, terdapat dua terdakwa yang sama di dua kasus tersebut.(Antara/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler