Pernyataan Keras Ketua PGRI soal Nasib Guru Honorer, Menggetarkan Jiwa

Rabu, 17 Februari 2021 – 13:39 WIB
Massa honorer K2 unjuk rasa menuntut diangkat menjadi CPNS. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara meminta pemerintah menghentikan praktik perbudakan terhadap pendidik.

Bertahun-tahun  guru honorer jadi budak pendidikan. Kemampuan mereka dinilai rendah tetapi tenaganya tetap digunakan untuk mengisi ruang-ruang kelas kosong.

BACA JUGA: Bu Siti Boyong Keluarga, Terharu Terima SK PPPK

"Kasus guru Hervina yang dipecat karena unggahan gaji Rp 700 ribu dan masuknya guru CPNS, bukan kasus pertama. Kasus pemecatan guru honorer karena datangnya guru CPNS sudah terjadi puluhan tahun," kata Dudung kepada JPNN.com, Rabu (17/2).

Diceritakan Dudung, Caca Danuwijaya yang saat ini menjadi aktivis PB PGRI pernah merasakan pemecatan itu.

BACA JUGA: Perkembangan Terkini Rekrutmen PPPK, Guru Honorer Siap-siap Saja

Yang jadi pertanyaan, haruskah ini terus berlanjut dalam dunia guru honorer?

Martabat guru honorer dan pekerjaan seorang guru honorer yang sudah belasan tahun bisa terusir oleh new comer CPNS atau PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja).

BACA JUGA: Nasril Diterkam Buaya, Kondisinya Bikin Merinding

"Saya berharap derita pengusiran guru honorer dari pekerjaannya tidak berlanjut. Alangkah baik dan humanis para pejabat mengamalkan nilai-nilai Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.

Dudung menambahkan, pemerintah harus memikirkan cara efektif dan tidak bertabrakan dengan dasar negara dan undang-undang.

UU Guru dan Dosen memerintahkan perlindungan dan keadilan bagi entitas guru. Sayangnya, fakta di lapangan masih terjadi diskriminasi. 

"Guru honorer dilukai, dipecat dan diperlakukan sebagai budak pendidikan. Ini masih terjadi."

"Tragedi guru honorer di SDN 169 Desa Sadar Kabupaten Bone Sulawesi Selatan semoga menyadarkan kita semua. Dari Desa Sadar menyadarkan dan mewarasakan kita semua," sambung Dudung.

Sebagai ketua PB PGRI, Dudung melihat unggahan guru honorer Hervina justru sangat baik dari sisi pesan moral.

Ia seolah secara spontan memberikan pesan dan kode keras kepada publik yakni pemerintah, masyarakat dan semua pihak terkait agar memahami realitas finansial entitas guru.

Unggahan guru honorer Hervina adalah representasi dan wajah pahit guru honorer Indonesia. Terutama guru-guru di pendidikan dasar.

Makin ke dasar makin tebal penderitaan guru honorer. "Bahkan gaji Rp 700 ribu itu masih di atas guru honorer lainnya yang lebih kecil dari sekolah yang lebih kecil, terluar, terjauh dan terkumuh," ungkap Dudung.

Hervina adalah guru honorer yang terbuang. Hervina adalah representasi derita mayoritas guru honorer Indonesia.

Bahkan dulu ada guru honorer di sebuah yayasan dipecat karena menyukai dan memilih calon gubernur yang dikaguminya. Faktanya tidak sedikit sebuah lembaga pendidikan terkait partai politik tertentu. Guru honorer jadi korban kebijakan  yayasan. 

"Politisasi, diskriminasi, dehumanisasi guru honorer masih terjadi di mana-mana. Pemerntah masih belum mampu menuntaskan nasib guru honorer." 

"Satuan pendidikan tidak berdaya, rekan sejawat kurang peduli,  bahkan anak didik pun menganggap guru honorer adalah guru kelas dua. Mengapa? Perlakuan semua pihak kepada guru honorer masih diskriminatif," pungkas Dudung. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler