Beberapa hari belakangan, rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas ramai mewarnai pemberitaan.

Artikel ini ditulis untuk mengurai lebih jauh mengapa rancangan ini menuai kontroversi dan apa poin penting yang disampaikan organisasi profesi wartawan, platform digital, hingga pandangan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

BACA JUGA: Daging Anjing dan Kucing Kini Terlarang Tomohon, tetapi Kelelawar Masih Digandrungi

Apa konteks pembuatan Perpres Jurnalisme Berkualitas ini?

Pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari lalu, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dewan Pers, dan stakeholder terkait agar segera menuntaskan klausul-klausul tentang Publisher rights yang akan dimasukkan dalam Perpres.

"Saran saya bertemu, dalam satu bulan ini selesai perpresnya," kata Presiden Jokowi di Gedung Serbaguna Pemprov Sumut, Deli Serdang, Sumatera Utara.

BACA JUGA: Kini, Kemampuan Google Assistant Meningkat Berkat Teknologi AI

Gagasan mengenai regulasi yang menuntut tanggung jawab platform digital global, seperti Google, Facebook dan sejenisnya, untuk memberikan nilai ekonomi atas konten berita yang diproduksi oleh media lokal dan nasional, sebenarnya telah mengemuka sejak Hari Pers Nasional di tahun 2020.

Regulasi serupa juga sudah diberlakukan di beberapa negara, salah satunya Australia.

BACA JUGA: Berdalih Melindungi Moral, Taliban Bakar Puluhan Alat Musik

Dengan adanya regulasi publisher rights, media akan mendapatkan semacam royalti atas konten-konten yang disebarluaskan platform digital global seperti mesin pencari (Google dan Bing), media sosial (Facebook dan Twitter), serta news aggregator (Google News, Yahoo News) yang mengambil konten media tanpa ada bagi hasil.

Salah satu sumber ABC Indonesia mengatakan, kegelisahan pelaku media di Indonesia memang sudah berlangsung lama, misalnya dengan kehadiran apilkasi seperti Baca Berita (Babe) yang terkesan mendapat lebih banyak keuntungan dari konten berita dibanding outlet media yang memproduksinya.

Seiring dengan berjalannya waktu, Perpres yang dimaksud kemudian dikenal sebagai Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas, atau yang disingkat dengan Perpres Jurnalisme Berkualitas.

Perpres ini molor dari target Presiden Jokowi di Hari Pers Nasional, karena sampai kini belum disahkan. Namun menurut Menkominfo Budi Arie Setiadi naskahnya sudah disetorkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden.Apa isi rancangannya?

Wakil Menkominfo Nezar Patria mengatakan rancangan perpres yang sudah diserahkan ke Sekretariat Kabinet itu membahas tiga isu utama.

"Yang pertama soal lebih berkaitan dengan kerja sama bisnis yang B to B [business to business], kemudian kedua soal data dan ketiga algoritma (platform digital)," tuturnya kepada wartawan pekan lalu.

Nezar menjelaskan pemerintah mencoba membangun keberlanjutan atau sustainability industri media di tengah disrupsi digital, sehingga kerja sama bisnis menjadi hal yang paling penting antara industri media dan platform digital.

"Secara umum Perpres Publisher Rights mengatur terkait konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan pers. Kemudian platform juga bisa melakukan semacam filtering mana konten yang sifatnya news, mana yang bukan, dan yang news inilah yang dikomersialisasi," jelasnya.

Mengenai algoritma, Nezar menegaskan adanya aturan ini sebagai upaya mencegah konten yang potensial mengandung hoaks, misinformasi, disinformasi atau yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta kode etik jurnalistik.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, naskah rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas ini belum tersedia untuk publik, sehingga ABC Indonesia juga belum dapat melihat rincian dari tiga isu utama yang tercakup di dalamnya.

Untuk mengawal Perpres ini, Nezar menjelaskan wacana Komite Independen.

"Isinya diusulkan ada 11 orang, lima orang dari Dewan Pers, lima orang dari pakar yang tidak terafiliasi oleh industri media dan tidak terafiliasi oleh platform media sosial, dan satu unsur dari kementerian," tuturnya.

"Nanti komite akan bekerja dipilih untuk tiga tahun sekali, kemudian kalau ada satu konten yang menurut komite ini harus 'ditertibkan' mereka akan melaporkan ke Menteri Kominfo dan oleh Menteri akan dipakai perangkat-perangkat yang selama ini dimiliki baik perangkat hukum, regulasi, termasuk juga wewenangnya ada di Kominfo untuk misalnya memfilter ataupun mencegah konten-konten itu bisa menyebar."Apa yang jadi masalah dari Perpres ini?

Seperti yang dijelaskan Wamenkominfo Nezar Patria, Perpres ini juga memuat soal aturan algoritma platform digital.

Dari informasi yang diterima ABC Indonesia, di dalam Perpres tersebut termuat aturan bagi "platform digital untuk membuat algoritma yang harus sesuai dengan kebhinekaan dan kode etik jurnalistik".

Aturan inilah yang nantinya akan dipakai untuk melihat apakah suatu konten berita telah sesuai dengan kode etik jurnalistik atau tidak.

"Masalah inilah kemudian menjadi diskusi karena ada beberapa platform media sosial merasa untuk algoritma itu mereka agak kesulitan, terutama misalnya memastikan satu konten sesuai dengan kode etik jurnalistik atau tidak. Itu mereka bilang agak sulit," ujar Nezar.Bagaimana tanggapan platform digital?

Salah satu platform digital raksasa dunia, Google, yang telah mematuhi aturan serupa di Uni Eropa dan Australia, mengatakan telah mengkomunikasikan pandangannya kepada pemerintah Indonesia.

"(Draf) terbaru peraturan berita di Indonesia, jika diterapkan tanpa perubahan, tidak akan bisa dijalankan," kata Michaela Browning, wakil presiden Google Asia-Pasifik untuk urusan pemerintah dan kebijakan publik dalam sebuah pernyataan.

"Alih-alih mempromosikan jurnalisme berkualitas, aturan itu bisa membatasi akses publik ke berbagai sumber berita dengan memberikan wewenang kepada satu badan non-pemerintah untuk memutuskan konten apa yang diizinkan untuk muncul secara online dan penerbit mana yang diizinkan memperoleh pendapatan dari iklan."

Google mengatakan aturan itu akan membatasi berita online yang tersedia dengan hanya memilih beberapa penerbit dari ribuan penerbit yang tersedia di Indonesia.

Tahun lalu, Google setuju untuk membayar lebih dari 300 penerbit di Uni Eropa untuk berita mereka, serta menandatangani perjanjian serupa di Australia pada tahun 2021.

Bulan Juni lalu, Google mengatakan pihaknya berencana memblokir berita Kanada di platformnya di negara tersebut, mengikuti langkah yang diambil Meta, induk perusahaan Facebook.

Kemungkinan terburuk jika Pepres ini tetap disahkan dengan klausul yang ada adalah Google tidak lagi menyediakan platform bagi konten berita di Indonesia.

Selain publik yang akan dirugikan, ini juga akan berdampak pada anjloknya pendapatan media digital dan berujung pada hilangnya mata pencaharian pekerja media.Wewenang pengawasan kode etik jurnalistik ada di tangan siapa?

Masalah lain yang mengemuka adalah gagasan untuk menyerahkan pengawasan konten berita kepada platform melalui algoritma.

Padahal, wewenang pengawasan produk jurnalistik ada di tangan Dewan Pers, sesuai dengan amanat UU Pers Tahun 1999.

"Mungkin maksudnya baik, tapi ini riskan, karena secara tidak langsung, kita nanti akan memberikan kewenangan pada platform untuk menentukan mana berita yang sesuai dengan kode etik jurnalistik dan mana berita yang tidak sesuai," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

"Ini berbahaya, karena kewenangannya sebenarnya ada di Dewan Pers."

Sasmito menambahkan, AJI mengusulkan agar siapa pun yang duduk di Komite Independen harus bebas dari kepentingan pemerintah, perusahaan media, dan platform.

"Saya pikir komite ini juga tidak boleh melampaui kewenangan dari Dewan Pers karena sifatnya hanya sebagai badan pelaksana perundingan … enggak bisa memberi penilaian karya jurnalistik [apakah] sesuai dengan kode etik jurnalistik dan memberikan sanksi."

"Kewenangan tersebut harus tetap ada di Dewan Pers dan komite ini hanya menjembatani jika ada persoalan sengketa ekonomi atau bisnis antara platform dengan perusahaan media."

Sejumlah organisasi profesi seperti AJI, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesian Digital Association (IDA) meminta Presiden Joko Widodo untuk meninjau ulang naskah Rancangan Perpres tersebut dan mencari jalan tengah dan terbaik untuk semua pihak.

"Kita mungkin bisa duduk bareng-bareng supaya regulasi ini bisa berjalan, jangan sampai kita buat regulasi tapi setelah diketok justru jadi masalah," ujar Sasmito

"Apalagi kalau kemudian dampaknya platform hengkang dari Indonesia dan terjadi PHK, makanya perlu dipikir dengan baik dan kepala dingin supaya ketemu solusi yang terbaik bagi semuanya," tambahnya

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Bom Bunuh Diri di Pakistan, 40 Orang Tewas dan Ratusan Terluka

Berita Terkait