jpnn.com, JAKARTA - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis Laksda (purn) Soleman B Ponto menilai, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme bisa menjadi buah simalakama bagi angkatan bersenjata itu.
Oleh karena itu, Soleman mengharapkan Rancangan Perpres tersebut harus sesuai dengan karakter TNI.
BACA JUGA: Pesan dan Pujian Panglima TNI Buat Nahdlatul Ulama
Menurut dia, tanpa Peraturan Presiden, sebenarnya TNI dapat dilibatkan dalam mengatasi Terorisme, melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI.
Namun, dia menilai revisi UU Pemberantasan Terorisme dengan mempertegas pengaturan pelibatan TNI sesuai dengan UU TNI, dipandang sebagai solusi terbaik agar tak ada polemik dan menjadi buah simalakama untuk penanganan terorisme.
BACA JUGA: KontraS Desak Draf Perpres TNI Tangani Terorisme Segera Direvisi
Soleman mengkhawatirkan kemunculan Rancangan Perpres itu mendapat penolakan keras karena dinilai berpotensi melanggar HAM serta memberi tugas kepada TNI memberantas di luar kerangka criminal justice system. Soleman berpendapat ada tiga masalah yang timbul bila Perpres itu disahkan.
Masalah pertama, apabila isinya mengatur tentang pelaksanaan Operasi Militer sesuai dengan amanat Ayat 3 Pasal 43 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Maka hal itu akan bertabrakan dengan Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menghendaki adanya penegakan hukum atau law enforcemen.
BACA JUGA: Akademisi Sebut Draf Perpres TNI Tangani Terorisme Bisa Ganggu Supremasi Sipil
“Artinya isi Perpres itu berada di luar kerangka criminal justice system,” kata dia saat diskusi webinar bertajuk Polemik Rancangan Perpres Tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Terorisme yang diadakan Universitas Paramadina, Selasa (9/6).
Soleman menyoroti salah satu hal krusial dalam Pasal 6 terhadap pelaku teror atau terhadap teroris dipidana. Kata pidana di dalamnya, menurut dia, perlu mendapat perhatian karena membawa konsekuensi bagi para pelaku teror harus melalui serangkaian proses hukum atau proses persidangan sebelum dijatuhkan hukuman. Proses hukum atau proses persidangan itu sendiri diatur oleh KUHAP.
“Artinya para teroris nanti dibunuh apabila mendapat hukuman pidana mati. Para pelaku teror nanti dibunuh setelah melalui serangkaian proses persidangan atau law enforrcement, bukan dibunuh dalam proses penangkapan,” jelas Soleman.
Masalah kedua, lanjut dia, kerangka criminal justice system yang berpedoman pada KUHAP bukan keahlian TNI sehingga berpotensi bertabrakan dengan Polri. Dan hal itu juga bertentangan dengan dengan Ayat 1 dan Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menghendaki adanya Military Operation.
“Masalah ketiga, oleh karena TNI bukan ahlinya sebagai penegak hukum, maka dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Sehingga TNI akan tertuduh sebagai pelanggar HAM sebagaimana yang diatur oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,” kata dia.
Melalui revisi UU Pemberantasan Terorisme yang disinkronisasi dengan UU TNI, khususnya Pasal 43 UU Nomor 5 Tahun 2018, Perpres tak diperlukan dalam pelibatan TNI untuk pemberantasan terorisme.
“Kalau saya boleh menyarankan, frasa pada Ayat 3 Pasal 43 I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang semula berbunyi, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat 1 diatur dalam Peraturan Presiden, diganti dengan, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada Ayat 1 dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI,” kata Soleman.
Soleman menilai hal itu akan membebaskan TNI dari kewajiban untuk membuat Rancangan Perpres yang isinya akan selalu bermasalah. Tanpa Perpres pun, TNI tetap dapat dilibatkan dalam mengatasi terorisme melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. (tan/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga