Persekolahan Harus Direvolusi, Konten Pengetahuan Cukup 10%

Senin, 26 Oktober 2020 – 19:18 WIB
Ilustrasi, siswa SMK merapikan buku modul pembelajaran jarak jauh. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan Praktisi Pendidkan Muhammad Nur Rizal, PhD mengatakan, dunia persekolahan di Indonesia harus direvolusi karena sudah tidak lagi relevan dengan tantangan zaman.

World Economic Forum dalam laporan terbarunya 2020 tentang the future jobs memprediksikan dalam lima tahun ke depan akan ada 85 juta pekerjaan saat ini hilang dengan cepat.

BACA JUGA: Billy Mambrasar: Program Adem Berguna bagi Pendidikan di Papua

Kemudian 97 juta pekerjaan baru muncul akan tetapi dalam laju yang sangat lambat.

Dalam situasi itu, 50 persen pekerja bakal membutuhkan reskilling dengan 40 persen core skills bakal berubah.

BACA JUGA: Pakar Pendidikan Puji Ide Sekolah Virtual di Jateng untuk Anak Putus Sekolah

Laporan tersebut juga menjelaskan, sekitar 43 oersen pengusaha yang disurvei akan mengurangi tenaga kerja manusia yang akan digantikan integrasi teknologi.

Bahkan 97% pemimpin bisnis mengharapkan pekerjanya memiliki ketrampilan baru yang belum pernah ada sebelumnya agar bisnisnya bisa bertahan.

BACA JUGA: Buruan Hapus, Ada 21 Aplikasi Jahat di Smartphone Android

Dampak wabah COVID-19 juga akan mempercepat proses untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan proses digitalisasi dan remote working sebesar 84%.

"Persoalannya, apakah paradigma dan fokus pendidikan kita secara fundamental sudah mengantisipasinya dengan mengubah haluan kebijakan politiknya atau sekadar memperbaiki yang rusak secara tambal sulam saja?," kata Rizal dalam seminar Menyiapkan SMK yang kondusif dan hebat melalui ekosistem Gerakan Sekolah Menyenangkan, Senin (26/10).

Rizal menegaskan, untuk menjawab tantangan tersebut, baik policy makers dan guru SMK harus mampu menciptakan ekosistem dan konten baru dengan pendekatan a whole school approach.

Bukan hanya menawarkan program baru seperti DUDI (dunia usaha dunia industri) serta kurikulum baru yang sesuai kebutuhan industri.

Melainkan menciptakan ekosistem dan kondisi di mana anak bisa menjadi dirinya sendiri agar bisa mengeluarkan talenta terbaiknya karena punya gairah (passion) selama belajar di sekolah.

Juga lingkungan belajar yang bisa membuat anak berani memiliki 3D yakni (dream, design, and deliver). 

Agar bergairah,  lanjutnya, anak tidak diseragamkan kemampuan dan bakatnya.

Namun diberi ruang untuk punya mimpinya sendiri bagi masa depannya, dengan diberikan banyak pilihan dalam meracik kurikulum dan target belajarnya di sekolah.

Di samping berbagai skenario bagaimana mereka belajar sesuai kekuatan yang dimilikinya sendiri. 

"Skenario ini akan meningkatkan ketrampilan anak dalam mendesain dan menjalankan proses belajar untuk mencapai mimpinya secara sistematis dan konsisten," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini.

Ekosistem persekolahan 3D diharapkan memberikan iklim baru bagi anak untuk melakukan upskilling atau reskilling sesuai tuntutan industri masa depan.

Di mana porsi penguasaan konten pengetahuan hanya diperlukan 10 persen.

Sedangkan 90 persen penguasaan pada ketrampilan pengelolaan diri, emosi dan empati sosial serta berpikir kritis-analitis dan kreatif dalam memecahkan persoalan kompleks.

"Selain menyangkut aspek ekonomi, ekosistem 3D dapat memjawab tantangan pembelajaran yang mengedepankan kodrat individu," pungkasnya. (esy/jpnn)

 

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler