Persembunyian WN Tiongkok Selalu Sepi, tapi Banyak Jemuran

Sabtu, 05 Mei 2018 – 16:06 WIB
Rumah milik Hendrik Pardede di Perumahan Mutiara Abianbase, Mengwi, Badung yang menjadi tempat puluhan WN Tiongkok melakukan aksi kejahatan siber. Foto: Maulana Sandijaya/Radar Bali

jpnn.com - Warga di kompleks Perumahan Mutiara Abianbase, Mengwi, Badung masih belum percaya bahwa rumah mewah milik Hendrik Pardede (55) dihuni puluhan orang warga negara (WN) Tiongkok. Pasalnya, sekitar enam bulan terakhir rumah dengan pagar bercat cokelat itu oleh warga disebut rumah hantu.

MAULANA SANDIJAYA, Badung

BACA JUGA: Begini Cara WN Tiongkok Penjahat Siber Sewa Rumah di Bali

TIDAK sulit mencari rumah milik Hendrik Pardede. Dari RSUD Mangusada, Kapal, Badung, belok ke utara ke Jalan Raya Abianbase – Dalung. Hanya berjarak sekitar 500 meter.

Di kiri jalan tertulis Perumahan Mutiara Abianbase. Masuk ke arah timur sekitar 100 meter maka akan terlihat rumah besar ditumbuhi tanaman dan rumput liar.

BACA JUGA: Polisi Tangkap Dua WN Tiongkok Lagi

Rumah bernomor 1A itu berhadapan dengan bangunan luas tempat penggilingan gabah. Dari luar rumah menghadap ke selatan itu seperti rumah tak terawat. Suwung alias sepi.

Garis polisi melingkar dari pintu gerbang depan rumah, hingga pagar belakang. Garis polisi itu menjadi perhatian tersendiri bagi warga yang melintas.

BACA JUGA: LIhat Nih, WN Tiongkok Penjahat Siber Mau Kabur Lewat Atap

“Karena tidak ada penghuninya, kami di sini sering menyebutnya rumah hantu,” ujar Lurah Abianbase I Dewa Gede Rai Wijaya kepada Radar Bali.

Kantor Lurah Abianbase berada tak jauh dari rumah Hendrik. Jaraknya hanya sekitar 50 meter.

Bedanya, kantor lurah ada di dalam kompleks perumahan, sedangkan rumah Pardede di luar pintu masuk kompleks. Wijaya menuturkan, rumah Hendrik sejak dua tahun lalu tidak terpantau siapa yang menghuninya.

Selama tujuh tahun menjadi lurah, Wijaya menyebut rumah tersebut sangat tertutup. Dia tidak pernah bertemu dengan Hendrik.

Padahal, sedikitnya sehari dua kali Wijaya melewati rumah itu. Saat pergi dan pulang kantor. Baca juga: Cara Ratusan WN Tiongkok Menyusup ke Bali demi Jadi Penjahat

Setiap Jumat, Wijaya bersama staf kelurahan juga keliling perumahan melakukan bersih-bersih lingkungan. Tapi, sekali pun Wijaya tak pernah melihat ada orang di dalam rumah.

“Kalau pun ada aktivitas hanya saat papasan ada mobil masuk atau keluar rumah. Setelah itu pintu gerbang ditutup rapat. Seolah-olah perhuninya sangat private,” tukasnya.

Menurut pria asli Keramas, Gianyar itu, rumah milik Hendrik dari luar terlihat rapi. Rumput dan tanaman yang ada di taman di atas parit rutin dipangkas.

Namun, sejak enam bulan hingga tujuh bulan lalu, rumah dengan pintu gerbang kayu itu terlihat tak terawat. Siang dan malam sering gelap seperti tidak ada aktivitas manusia.

Wijaya dan warga tidak terlalu memperhatikan rumah milik Hendrik yang ditulisi dijual/dikontrakkan.Wijaya mengira rumah tidak lagi terurus karena pemilknya sudah pindah.

“Saya pikir tidak terawat karena belum laku. Makanya wajar terlihat sintru (angker),” terangnya.

Bahkan, juru pemantau jentik (jumantik) tak pernah masuk pekarangan rumah Hendrik. Selain itu, petugas jumantik juga segan memasuki rumah besar dan tertutup itu.

Sampai akhirnya Wijaya dikejutkan penggerebekan di rumah Hendrik yang dihuni puluhan WN Tiongkok.

“Saya kira benar-benar sudah tidak ada aktivitas, tahunya ada penggerebekan. Setelah penggerebekan baru kami tahu kalau selama ini ada orang di dalam rumah,” ucap pria 41 tahun itu.

Namun, sehari setelah penggerebakan, Wijaya baru banyak mendapat laporan dari penghuni indekos di belakang rumah Hendrik. Sebagian penghuni indekos mengaku sering melihat ada banyak jemuran pakaian di halaman belakang.

Anehnya, tidak pernah terlihat siapa gerangan yang menjemur pakaian. Sayangnya, warga tidak berani melapor meski saat itu merasa keheranan.

“Kok bisa, tidak ada penghuninya tapi banyak jemuran. Tapi, penghuni kos tidak berani lapor karena mereka juga pendatang,” imbuh lurah lulusan IPDN Jatinagor, Jawa Barat itu.

Wijaya menambahkan, Hendrik juga sangat jarang berkomunikasi dengan warga dan pihak kelurahan. Padahal, Hendrik adalah pengembang Perumahan Mutiara Abianbase.

Bahkan, Wijaya sempat kesulitan saat meminta warga menemui Hendrik untuk menyerahkan fasilitas umum (fasum) perumahan agar bisa dibantu pemerintah. Fasum seperti jalan, pura, balai pertemuan tidak bisa mendapat bantuan pemerintah sebelum diserahterimakan pengembang.

“Rumah elite hampir tidak ada komunikasi dengan warga sekitar. Jadi, warga tidak tahu seperti apa kondisinya. Ini juga menjadi pengalaman bagi kami agar lebih peduli dengan lingkungan,” kata bapak dua anak itu.

“Seperti kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak,” pungkasnya.(rb/san/mus/mus/JPR)

BACA ARTIKEL LAINNYA... WN Tiongkok Penjahat Siber Beroperasi di Bekas Rumah Ibadah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler