Pemeriksaan kasus tokoh Katolik paling senior di Australia, Kardinal George Pell (76 tahun), dalam persidangan pendahuluan (committal hearing) dibuka kembali untuk umum setelah para pelapor menyampaikan bukti-bukti mereka.
Seorang petugas keamanan menjaga pintu masuk ke Ruang Persidangan 22 di Pengadilan Magistrat Melbourne selama 10 hari terakhir. Petugas itu memastikan tidak ada seorang pun kecuali Kardinal Pell, pendampingnya, tim hukum, jaksa dan hakim yang bisa masuk ke dalam.
BACA JUGA: Pakar Kesehatan Peringatkan Soal Kebiasaan BBQ Ala Australia
Selama lima hari persidangan, sejumlah pelapor memberikan bukti melalui sambungan video sebelum diperiksa silang oleh pengacara Kardinal Pell, Robert Richter QC.
Proses ini merupakan praktik standar yang diberlakukan bagi pelapor dalam kasus yang tuduhan pelanggaran seksual. Para pelapor menyampaikan bukti-bukti dari lokasi terpisah ke pengadilan yang tertutup bagi media dan publik.
BACA JUGA: Australia Barat Masih Kurang Menarik Bagi Turis Mancanegara
Sidang pedahuluan tersebut diperkirakan masih berlanjut selama dua minggu ke depan dalam sidang terbuka dan Kardinal Pell akan melawan segala tuduhan pelanggaran seksual di masa lalu.
Tuntutan-tuntutan tersebut belum dibuka ke media dan belum ada perincian lain dari kasus ini yang dapat diberitakan karena pertimbangan hukum.
BACA JUGA: Malaysia Resmi Minta Australia Periksa Reruntuhan MH370 Jika Ditemukan
Diperkirakan sekitar 50 saksi memberikan keterangan ketika persidangan pendahuluan ini berakhir dan Hakim Belinda Wallington memutuskan apakah terdapat cukup bukti untuk selanjutnya mengadili Kardinal Pell.
Jika hakim memutuskan untuk melanjutkan kasus ini ke pengadilan, maka Kardinal Pell akan diharuskan untuk menyatakan diri bersalah atau tidak bersalah terhadap tuntutan.
Pengacaranya, Robert Richter sebelumnya mengatakan bahwa Kardinal Pell tidak akan mengaku bersalah atas segala tuntutan tersebut.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Facebook Berkontribusi Atas Kekerasan Terhadap Muslim Rohingya