jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah lewat PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga BBM RON 92, Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter. Kebijakan ini mulai berlaku per 1 April 2022.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir buka suara atas kenaikan harga pertamax.
BACA JUGA: Daftar Lengkap Harga Pertamax dan Pertalite di Seluruh Indonesia, Belaku Hari Ini
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Erick Thohir dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin, Rabu, 30 Maret 2022.
Dia pun menjelaskan pertalite masih dijadikan subsidi namun pertamax sudah tidak bersubsidi.
BACA JUGA: Ada Sinyal Harga Pertamax Naik hingga Rp 16 Ribu Per Liter, Begini Kata Pertamina
Peneliti kebijakan publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro menyebut jika masyarakat dari kelas menengah ke atas sepatutnya tidak mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi negara.
Sebab, BBM bersubsidi tersebut, dalam hal ini BBM jenis Pertalite, diperuntukkan bagi masyarakat bawah.
BACA JUGA: Kinerja Keuangan Pertamina Harus Stabil, Wajar Jika Harga Pertamax Naik
Hal itu sejalan dengan keputusan Pemerintah yang menetapkan bensin RON 90 atau Pertalite menjadi Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) menggantikan bensin RON 88 atau Premium.
"BBM penugasan ini peruntukannya adalah masyarakat bawah, harusnya orang kaya atau kelas menengah ke atas malu menggunakan BBM subsidi," kata Riko, Jumat (1/4).
Diketahui, harga BBM Pertamax mengalami penyesuaian disebabkan harga minyak dunia yang masih tinggi akibat konflik Ukraina dan Rusia.
Harga minyak dunia saat ini mencapai 100 dolar AS per barel, adapun harga minyak di Indonesia mencapai 114,55 dolar AS per barel.
Melihat kondisi seperti itu, Riko Noviantoro mendorong pemerintah melakukan langkah antisipasi atas dampak lanjutan dari kenaikan Pertamax. Apalagi, dengan adanya kenaikan Pertamax ini dikhawatirkan perilaku konsumen akan bergeser.
Dari selama ini menggunakan BBM non subsidi bergeser menggunakan BBM subsidi.
“Perlu diketahui bahwa kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil, kondisi ini bisa memicu perilaku konsumen BBM berpindah dari pertamax ke pertalite,” ujarnya.
Riko mengatakan jika pergeseran perilaku konsumen ini terjadi, pemerintah akan menghadapi masalah baru. Sebab, konsumen berpindah membeli BBM subsidi. Akibatnya keuangan negara malah semakin sulit.
Menyadari itu, sambung Riko, pemerintah perlu menyiapkan skema pengendalian dampak kenaikan BBM. Setidaknya ada tiga hal yang perlu pemerintah perhatikan.
“Pertama, cegah kebocoran BBM dan subsidinya. Ini penting agar bisa terukur perubahan konsumsi,” paparnya.
Kebocoran BBM yang dimaksudkan adalah peluang upaya sejumlah pelaku untuk menimbun atau menjual BBM ke luar negeri sehingga terjadi kelangkaan di dalam negeri.
Untuk pencegahan ini, Riko berharap pemerintah mengawasi ketat serta melibatkan TNI dan Polri. Karena BBM sebagai bagian dari kebutuhan yang memenuhi hajat orang banyak. Perlu perlindungan yang ketat.
Kedua, menurut Riko tindakan pemerintah adalah mengajak pengguna mobil kelas menengah tidak mengkonsumsi pertalite. Tetapi tetap mengonsumsi pertamax sambil mendorong perilaku hemat BBM.
"Langkah ketiga adalah menyiapkan jaringan pengaman sosial. Karena kenaikan BBM non subsidi tetap berdampak secara ekonomi," paparnya.
Sekadar diketahui, PT Pertamina (Persero) secara resmi menaikkan harga jenis BBM Pertamax menjadi Rp 12.500. Harga itu berlaku mulai pukul 00.00 pada 1 April 2022.
Vice President Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, melalui kenaikan harga untuk Pertamax menjadi jembatan edukasi bahwa BBM jenis Pertalite hanya untuk masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi.
“Kita berikan kesadaran bahwa itu untuk masyarakat yang berhak disubsidi, orang mampu dan apalagi yang punya mobil mewah, harus beli BBM Non Subsidi," jelasnya kepada wartawan, Kamis (31/3/2022).
Fahriyah meminta masyarakat yang mampu harus terus didorong untuk membeli BBM Non-subsidi yakni Pertamax.
Dari sisi kualitas, BBM jenis Pertamax ini berbeda dengan BBM subsidi seperti Pertalite.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari