jpnn.com - JAKARTA - Rencana PT Pertamina untuk menaikkan harga LPG kemasan 12 kg terus dipersiapkan. Meski sempat mendapatkan protes, pihak pertamina mengaku rencana itu tak membuat kerugian. Sebab, studi yang dilakukan memastikan konsumen LPG 12 kg mampu menghadapi kenaikan harga itu.
Media Manager PT Pertamina Adiatma Sardjito mengungkapkan, pihaknya sudah meniliti pasar LPG 12 kg di Indonesia. Misalnya, jenis-jenis konsumen LPG 12 kg di perkotaan.
BACA JUGA: Lebaran, KAI Siapkan Armada Tambahan
Dari semua jenis, pembeli LPG 12 kg didominasi masyarakat kelas atas. Misalnya, kelas masyarakat dengan rata-rata pengeluaran Rp 4,43 juta per bulan. Masyarakat golongan paling atas ini menyerap hampir 39,7 persen dari LPG yang disalurkan di daerah urban.
"Golongan yang menyerap kedua adalah masyarakat dengan pengeluaran Rp 2,3 juta per bulan. Kelas ini menyerap 32 persen dari total LPG 12 kg yang dijual di daerah urban. Dua golongan ini mempunyai gaya hidup yang cukup mewah. Misalnya, memilih air mineral bermerek sebagai sumber minuman. Sekaligus memiliki produk yang tergolong kebutuhan lux seperti laptop/komputer," ujarnya di Jakarta Jumat (2/5).
BACA JUGA: Pertamina Awasi Distribusi LPG 3 Kilogram
Sedangkan, lanjut dia, pasar konsumen LPG 12 kg di daerah rural sedikit berbeda. Di wilayah tersebut, justru masyarakat dengan pengeluaran menengah yang mendominasi.
Rumah tangga dengan pengeluaran rata-rata Rp 1,3 juta dan 1,6 juta per bulan justru yang paling banyak mengonsumsi produk non-subsidi. Jika diakumulasi, dua kelas itu menyerap hingga 49,6 persen dari total LPG yang dijual di daerah pinggiran.
BACA JUGA: Pemerintah Perkuat Pertanian-UMKM
"Golongan atas dengan rata-rata pengeluaran Rp 4,43 juta per bulan menyerap 10,6 persen. Sedangkan golongan masyarakat dengan rata-rata pengeluaran Rp 2,3 juta menyerap 21,6 persen," tambahnya.
Karena itu, dia mengaku tidak seharusnya pengguna LPG 12 kg protes. Dari hasil survey, jutsru pelanggan LPG 12 kg menghabiskan uang lebih banyak untuk rekreasi.
"Pada kuartal empat 2013, mereka bisa menghabiskan Rp 1,2 juta per bulan untuk kebutuhan rekereasi. Belum lagi jatah makan di luar rumah sekitar Rp 363 ribu per bulan. Ini jelas lebih banyak daripada pengeluaran untuk LPg yang rata-rata Rp 147 ribu per bulan," jelasnya.
Ketika ditanyai mengenai kemungkinan adanya migrasi ke LPG 3 kg, pihaknya mengaku itu hanya efek sementara. Hal itu diakui Adiatma terjadi di wilayah Bekasi saat LPG 12 kg dinaikkan Rp 1.000 januari lalu.
Namun, konsumen berpindah lagi satu minggu kemudian. "Ada yang berpindah tapi balik lagi beli LPG 12 kg. itu karena mereka tahu beli LPg 12 kg lebih praktis. Tak perlu harus sering-sering membeli LPG," ungkapnya.
Sebelumnya, Vice President Domestic Gas PT Pertamina Gigih Wahyu Hari Irianto mengungkapkan rencana untuk menaikkan harga LPG 12 kg.
Dalam roadmap yang telah disusun, pihaknya ingin menaikkan harga LPG 12 kg secara bertahap. Dengan begitu, dampak yang terasa tak akan terlalu besar.
"Sesuai dengan aturan, LPG 12 kg ini adalah produk non-PSO yang harganya ditentukan badan usaha dengan beberapa faktor. Nah, tentu saja kami harus mengubah harga agar tak ada lagi subsidi di produk ini. Karena memang ini bukan produk subsidi. Tapi, setelah kami tanya stake holder, mereka meminta setidaknya bertahap dengan roadmap. Jadi kami persiapkan itu," jelasnya.
Dalam roadmap tersebut, harga LPG bakal bertambah sekitar Rp 1.000-1.500 pada setiap kenaikan. Soal banyaknya tahap, Gigih mengaku ingin setidaknya dua kali dalam setahun.
"Ya setidaknya setiap enam bulan sekali. Kami harap program ini bisa selesai (harga LPG 12 kg capai keekonomian) pada semester dua 2016," tuturnya.
Namun, ketika ditanya kapan tahap pertama dilakukan, pihaknya mengaku masih menunggu keputusan pemerintah. Sebenarnya, pihaknya sudah merencanakan untuk kenaikan pertama pada Juli 2014. Namun, momen itu masih diwarnai suasana pemilu.
"Yang jelas masyarakat jangan diberi kecemasan. Mereka masih perlu suasana kondusif untuk melewati pemuli legistlatif dan presiden," tegasnya.
Soal kerugian pun, Gigih mengaku belum menghitung. Yang jelas, kerugian tersebut diperkirakan membesar dibanding tahun lalu. Pada 2013, Pertamina harus rugi Rp 5,7 triliun dari lini bisnis LPG 12 kg.
Hal itu karena selisih harga jual sebesar Rp 4.000 dibanding biaya keekonomian. "Tahun lalu itu dengan harga acuan sebesar USD 800 per ton. Awal tahun ini, harganya sudah menembus USD 1.000 per ton. Sedangkan kurs tak pernah dibawah Rp 11 ribu per USD," jelasnya. (bil)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Musnahkan Tabung Elpiji, Pertamina Harus Penuhi Sederet Syarat
Redaktur : Tim Redaksi