jpnn.com - Saga Pilpres 2019 memang telah resmi berakhir pada 30 Juni 2019, ketika KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf sebagai pasangan calon presiden-wakil presiden terpilih pasca-putusan MK yang menolak gugatan kubu Prabowo - Sandi. Namun, ketegangan antar-kedua kubu, diakui masih terus berlanjut setelahnya. Polarisasi pun, diakui ataupun tidak, masih tetap terasa.
Ketegangan di akar rumput terus terjaga. Celotehan dan pembahasan di berbagai ruang publik, masih tetap seputar rivalitas Jokowi dan Prabowo. Apalagi, beberapa inisiasi untuk mempertemukan Jokowi dan Prabowo sebagai tokoh sentral dalam kedua kubu, kerap kali menemui jalan buntu.
BACA JUGA: Yang Pasti, Prabowo Sudah Satu Gerbong dengan Jokowi
Padahal, pertemuan Jokowi dan Prabowo, diyakini banyak pihak merupakan langkah awal menuju rekonsiliasi dan cairnya polarisasi antar-pendukung kedua tokoh tersebut. Rekonsiliasi antar-kedua tokoh tersebut dan para pendukungnya, merupakan salah satu elemen penting dalam mendorong pembangunan Indonesia bisa melaju lebih cepat dan seimbang di periode kedua Jokowi ini.
Dimulai dari AHY
BACA JUGA: Sekjen NasDem Yakini Jokowi Bertemu Prabowo Bukan untuk Bagi-bagi Jabatan
Usaha rekonsiliasi kedua kubu memang telah berusaha dirajut pasca-pemungutan suara, 17 April 2019. Berbagai agenda silaturahmi antartokoh dari kedua kubu pun coba dirancang.
Agus H. Yudhoyono, Komandan Kogasma Partai Demokrat, merupakan salah satu pihak awal yang memilih jalan ini. Selama masa kampanye Pilpres dan Pileg 2019, sosok yang akrab dipanggil AHY ini dan Demokrat, memang membatasi komunikasi dengan pihak pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin karena memang AHY dan Demokrat berada dalam koalisi pengusung Prabowo-Sandi. AHY dan Demokrat juga konsisten untuk tidak merawat polarisasi dengan menghindari strategi kampanye yang berpotensi semakin memecah belah masyarakat di akar rumput.
BACA JUGA: Saran Bijak Arief Poyuono Bagi yang Masih Sewot Prabowo Bertemu Jokowi
Karena itu, ketika pemungutan suara telah berlalu, proses yang biasanya dianggap pemilih sebagai puncak pemilu, dan ternyata ketegangan antarpendukung kedua belah pihak makin memuncak, undangan silaturahmi di awal Mei dari Presiden Jokowi pun disambut dengan baik oleh AHY.
BACA JUGA: Seperti Ini Elias Memaknai Pertemuan Jokowi - Prabowo
Konteks pertemuan ini resminya memang warga negara yang diundang oleh Presiden. Hanya saja, kehadiran AHY di Istana Negara dianggap publik secara informal mewakili salah satu kekuatan besar politik di negeri ini, SBY dan Demokrat.
Bagaimanapun, SBY merupakan presiden pertama di era Reformasi yang terpilih selama dua periode. Demokrat pun pernah menjadi epicentrum dari pembangunan bangsa ini selama 10 tahun pemerintahan SBY.
Pertemuan AHY-Jokowi ini pun memberikan teladan pentingnya silaturahmi antarkubu yang memiliki pilihan berbeda. Selain itu, memberikan pesan kuat untuk tidak membawa posisi berseberangan di kontestasi Pilpres ke seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Silaturahmi AHY dan Presiden Jokowi kembali terjadi di Istana Bogor, 22 Mei 2019, ketika suhu politik sempat memanas karena munculnya korban jiwa di aksi 21-22 Mei. AHY pun menyerukan agar para pihak yang terlibat memilih jalan konstitusional dalam menyelesaikan konflik pemilu, termasuk adanya indikasi kecurangan. AHY pun mengajak para tokoh politik untuk memilih jalan dialog dalam menyelesaikan perbedaan pendapat.
Teladan AHY dan Jokowi ini memang tidak serta merta diikuti oleh tokoh-tokoh politik lain dari kedua kubu. Bahkan, ada tokoh-tokoh politik yang mencibir silaturahmi positif ini. Namun, setidaknya bagi sebagian masyarakat, ada secercah harapan menuju kebersamaan dalam membangun Indonesia yang lebih baik di lima tahun ke depan.
Hanya, ada harapan lebih besar yang dilekatkan kepada Jokowi dan Prabowo, selaku tokoh sentral dalam Pilpres 2019 lalu, untuk memulai silaturahmi dan merintis jalan ke rekonsiliasi.
Dari MRT Menuju Rekonsiliasi?
Setelah melalui berbagai inisiasi dan drama yang tak kunjung menemui hasil, pertemuan pertama Jokowi dan Prabowo pascaPilpres 2019 akhirnya terwujud pada hari Sabtu, 13 Juli 2019 lalu. Pertemuannya mengambil tempat awal di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta. Mereka pun sama-sama menaiki MRT menuju lokasi makan siang di Senayan.
Dari sudut komunikasi politik, ada beberapa makna yang terkandung dalam pemilihan lokasi pertemuan di MRT.
Pertama, pertemuan ini dilakukan di ruang publik. Di tempat yang relatif netral. Bukan di Istana Negara, dengan Jokowi bakal menjadi tuan rumah, dan mendudukkan Prabowo selaku tamu. Bukan pula di Kertanegara ataupun Hambalang, dengan Prabowo bakal bertindak selaku tuan rumah.
Jika dilakukan di Istana Negara, Prabowo bakal kehilangan muka di hadapan sebagian besar pendukungnya. Seakan-akan Prabowo “menyerah” kalah kepada Jokowi dan bersedia mendatangi Jokowi. Bagi tokoh politik lain, sah-sah saja untuk hadir di Istana Negara menemui Jokowi.
Namun, bagi pemilih Prabowo di Pilpres 2019 lalu, apalagi buat yang meyakini adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif, kedatangan ke Istana Negara seakan-akan menunjukkan kalau Prabowo berada “di bawah” Jokowi dan ikut apa saja kata Jokowi.
Jika dilakukan di Kertanegara atau Hambalang, Jokowi yang bakal dicemooh oleh pendukungnya. Pemenang Pilpres masak “mengemis-ngemis”, datang ke markas lawan politiknya untuk mendapatkan pengakuan? Apalagi seorang Presiden petahana. Mau ditaruh dimana muka Jokowi?
Pertemuan di tempat netral, mendudukkan posisi Jokowi dan Prabowo selaku sesama capres. Sejajar. Ada mental blocking yang perlu diterobos melalui pertemuan di tempat netral jika memang ingin merakit kapal rekonsiliasi. Unsur kesetaraan merupakan bagian penting dari elemen Keadilan, satu dari empat poin penting dalam rekonsiliasi antarpihak yang bertikai menurut John Paul Lederach (1999).
Kedua, pertemuan di tempat publik ini, membuat suasana antarkedua belah pihak menjadi lebih santai. Lebih cair. Ini perlu sebagai awal dalam meredakan ketegangan. Prabowo dan Jokowi pun kelihatan lebih lepas dan nyaman dalam pertemuan ini.
Situasi ini juga memberikan sinyal kepada pendukung keduanya, agar bisa menjalin relasi dengan kubu lain dalam situasi yang cair, santai. Bukan sibuk bersitegang, melainkan mencoba untuk menjalin relasi informal sebagai awal. Situasi formal dalam pertemuan antarkedua belah pihak yang sebelumnya bertikai, bisa memunculkan kekakuan dan ketidaknyamanan.
Ketiga, ada pesan tersirat dari Jokowi untuk Prabowo, kalau MRT merupakan simbol dari apa yang dikerjakan Jokowi selama ini. Jokowi berusaha membawa bangsa ini maju dan melaju lebih cepat, dengan mengadaptasi teknologi modern. Bukan membuat bangsa ini mundur dan bergerak tertatih-tatih.
Jokowi berusaha meyakinkan kalau dia berada di perahu yang sama dengan Prabowo. Sama-sama berjuang untuk memajukan bangsa dan negara ini. Jika ada perbedaan dalam cara mencapainya, itu hanya hal teknis.
Dengan kata lain, Jokowi mengajak Prabowo untuk “berdamai”, menciptakan perdamaian antar kedua kubu. Tujuan kita sama. Cara saja yang kadang berbeda.
Keempat, Jokowi mengajak Prabowo naik MRT di gerbong yang sama, duduk bersebelahan, seakan memberikan isyarat mengajak Prabowo berada di gerbong yang sama untuk pemerintahan periode 2019-2024. Bahu-membahu membangun Indonesia.
Pesan ini dipertegas dalam pernyataan Jokowi di depan media massa. Jokowi menegaskan tidak ada lagi 01, 02. Tidak ada lagi cebong dan kampret. Yang ada hanya Garuda Pancasila.
Isyarat Jokowi ini ditangkap dengan baik oleh Prabowo. Prabowo pun menyampaikan kepada Jokowi di depan media massa, siap untuk membantu jika diperlukan. Hanya, Prabowo juga menekankan, kalau sekali-kali memberikan kritik membangun, mohon dimaklumi.
Kelima, lokasi pertemuan di ruang publik seperti MRT ini bisa digunakan juga untuk test the water. Mengetahui respons awal publik secara langsung terhadap pertemuan mereka. Bagaimana penerimaan publik, apakah positif ataukah negatif.
Meskipun memang tidak bisa merepresentasikan respons masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tetap saja respons genuine publik yang kebetulan berpapasan bisa memberikan sedikit gambaran. Kedua tokoh pun bisa mendapatkan sedikit afirmasi, apakah langkah pertemuan ini memang tepat mereka ambil, ataukah tidak.
Sejauh yang ditangkap di lapangan, publik cenderung kaget dan memberikan respons positif. Mereka pun tak segan meneriakkan nama Jokowi dan Prabowo. Nama mana yang lebih banyak diteriakkan, beda-beda tipis lah mirip suara mereka di Jakarta pas Pilpres lalu.
Rekonsiliasi, atau Pragmatisme Politik?
Pertemuan Jokowi-Prabowo ini disambut positif oleh banyak pihak. Hanya, apakah ini memang benar berujung kepada rekonsiliasi, atau mengarah ke pragmatisme politik semata? Rekonsiliasi bukan sekadar mempertemukan para pihak yang bertikai dan menghentikan perseteruan serta memulihkan relasi sehingga kembali lagi harmoni seperti semula.
J.P. Lederach (1999), pengarang buku Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies, menyampaikan rekonsiliasi sejati akan tercapai jika mengandung empat elemen, yaitu pengakuan kebenaran, pengampunan, perdamaian, dan penegakan keadilan. Pertanyaan besarnya, kebenaran apa yang harus diakui oleh kedua belah pihak? Apa yang menjadi akar konflik kedua belah pihak? Ini yang harus diselesaikan jika memang rekonsiliasi benar ingin diwujudkan.
Dari kubu Jokowi, tentu berharap adanya pengakuan dari kubu Prabowo tentang kemenangan Jokowi atas Prabowo di Pilpres 2019. Lalu, menghentikan tuduhan-tuduhan terhadap sosok Jokowi dan pendukungnya. Sedangkan kubu Prabowo berharap adanya pengakuan akan kriminalisasi dan persekusi terhadap pendukung Prabowo serta kecurangan di pemilu.
Dengan adanya pengakuan klaim kebenaran satu sama lain dari pihak yang bertikai, barulah keduanya bisa saling mengampuni. Atau, dalam konteks ini, lebih tepatnya saling memaafkan dan menerima satu sama lain.
Penegakan keadilan menjadi prasyarat selanjutnya sebelum rekonsiliasi kedua belah pihak benar-benar terwujud. Penegakan keadilan mengandung unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihkan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.
Kedua belah pihak mesti menempatkan pihak lain dalam posisi setara dengannya. Tidak membuat pihak lain merasa subordinat. Kedua belah pihak juga harus memulihkan segala sesuatu sesuai dengan hak dan kewajiban, dan memastikan adanya pengembalian hak-hak masing-masing individu yang sempat tercederai.
Kubu Jokowi tentunya ingin agar kubu Prabowo berhenti melabeli kubu Jokowi sebagai pelaku kecurangan TSM, perusak NKRI, maupun sebutan-sebutan negatif lainnya. Kubu Prabowo mesti menghargai dan menempatkan Jokowi sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mesti ikut menjaga kewibawaan Jokowi selaku pemimpin negara ini, bukannya malah menjelek-jelekkan Jokowi. Kritik boleh, tapi tidak menjelek-jelekkan secara personal, apalagi dengan tuduhan yang belum terbukti.
Kubu Prabowo tentunya berharap pendukungnya yang dikriminalisasi bisa dipulihkan status dan hak-haknya. Lalu, tidak ada lagi kriminalisasi dan persekusi kepada pendukung Prabowo dari berbagai elemen pendukung Jokowi. Indikasi kecurangan pemilu, harus diusut tuntas. Pelaku yang terlibat, harus dihukum sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, siapapun itu.
Jika pengungkapan kebenaran, pengampunan, dan penegakan keadilan sudah terjadi, barulah perdamaian antar pihak bisa terwujud. Dengan demikian, rekonsiliasi pun benar-benar bisa tercapai.
Tetapi, jika pasca pertemuan Prabowo-Jokowi ini hanya berujung ke bagi-bagi jatah kursi kabinet, pimpinan lembaga tinggi negara, pimpinan BUMN, apalagi distribusi proyek-proyek besar di antara pendukung kedua kubu, berarti jalan pragmatisme politiklah yang dipilih. Bukan jalan rekonsiliasi. Tentunya ini mencederai hati sebagian besar pendukung kedua belah pihak dan masyarakat Indonesia.
Harapan kita, rakyat Indonesia, kedua belah pihak benar-benar serius merintis jalan rekonsiliasi. Demi persatuan dan kesatuan Indonesia. Bukan memilih jalan pragmatisme politik, apalagi sekedar basa-basi politik.
Dengan rekonsiliasi, kedua belah pihak akan meninggalkan sejarah masa lampau yang penuh dengan kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Kondisi seperti ini dapat memberikan energi baru dalam membangun masa depan yang lebih baik untuk Indonesia. Dan, tentu saja, dengan rekonsiliasi yang sifatnya berkesinambungan, kelangsungan proses pembangunan selama lima tahun ke depan dijamin dapat berjalan lancar tanpa terganggu konflik-konflik laten yang muncul di kemudian hari. Semoga.(***)
Penulis adalah Pengamat Politik Manilka Research
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengungkap Pesan di Balik Diplomasi MRT Jokowi dan Prabowo
Redaktur & Reporter : Friederich