jpnn.com, JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 15–16 Mei 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day reverse repo rate (BI-7DRR) sebesar enam persen.
Selain itu, BI mempertahankan suku bunga deposit facility 5,25 persen dan lending facility 6,75 persen.
BACA JUGA: BI Siapkan Uang Baru Rp 4,7 Triliun
’’Keputusan itu sejalan dengan upaya menjaga stabilitas eksternal perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat,’’ ujar Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (16/5).
BACA JUGA: Alasan BI Pertahankan Suku Bunga Acuan
BACA JUGA: Strategi BI Tingkatkan Pangsa Pasar Ekonomi Syariah
Ada sejumlah pertimbangan dalam penentuan suku bunga acuan BI bulan ini. Pertimbangan utama adalah kondisi ekonomi global yang belum pulih.
Ekonomi negara-negara maju seperti AS, Tiongkok, dan negara-negara Eropa diperkirakan melambat.
BACA JUGA: Modal Asing Masuk Indonesia Tembus Rp 132 Triliun
Itulah yang kembali memicu peralihan modal dari negara berkembang ke negara maju meski respons kebijakan moneter global mulai melonggar.
Dari sisi domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata lebih rendah daripada perkiraan akibat kondisi global yang menurun.
Secara keseluruhan, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi 2019 berada di bawah titik tengah kisaran 5–5,4 persen.
Perlambatan global tersebut membuat BI mengoreksi target defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang semula diproyeksi bisa mencapai 2,5 persen diperlebar menjadi 2,5–3 persen terhadap PDB.
’’Ke depan, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan 2019 lebih rendah ketimbang tahun lalu meski tidak serendah perkiraan semula,’’ ungkapnya.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menyatakan, kebijakan BI menahan suku bunga adalah yang terbaik saat ini.
Mengantisipasi kebijakan The Fed dan potensi keluarnya modal asing, BI tidak mungkin lagi menurunkan suku bunga.
Demi kestabilan rupiah, pilihan yang dimiliki BI adalah menahan atau bahkan menaikkan suku bunga.
’’Yang terbaik saat ini adalah menahan suku bunga,’’ tuturnya.
Di sisi lain, eskalasi perang dagang mengakibatkan perlambatan ekonomi global. Permintaan global cukup rendah dan harga komoditas akan turun. Indonesia makin sulit mendorong ekspor.
Di tengah perlambatan ekonomi global, pasar Indonesia yang relatif terbuka bakal menjadi sasaran pengalihan produsen global. Akibatnya, neraca perdagangan RI akan kembali defisit.
’’Dengan asumsi ini, saya kira proyeksi BI tentang CAD lebih realistis,’’ tandasnya. (ken/c14/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... UKM Bisa Genjot Investasi
Redaktur : Tim Redaksi