Sejumlah perusahaan ternak Indonesia yang membeli peternakan di Kawasan Australia Utara lima tahun lalu telah menjualnya kembali dan mendapat beberapa keuntungan besar.
Pembelian besar-besaran dari perusahaan Indonesia di Kawasan Utara pada kurun waktu 2013-2014 dipandang sebagai langkah yang menarik dalam industri ternak di negara bagian tersebut.
BACA JUGA: PM Morison Kirim Malcolm Turnbull ke Pertemuan Kelautan di Bali
Pada bulan Oktober 2013 perusahaan Indonesia Japfa Santori membeli lahan peternakan Riveren dan Inverway di kawasan Victoria River District dari keluarga Underwood, yang sudah memilikinya sejak tahun 1950-an.
Di tahun berikutnya peternakan Willeroo, 120 kilometer barat daya dari kawasan Katherine, dijual oleh Sultan Brunei ke perusahaan pakan ternak Indonesia, Great Giant Livestock, dan Edith Springs Station di sebelah utara Katherine dibeli juga oleh pengusaha Indonesia.
BACA JUGA: Penanganan Kasus Pembunuhan Khashoggi Pulihkan Reputasi Erdogan
Namun dalam dua tahun terakhir para pemilik peternak itu menjual semua lahan dan propertinya, dengan yang terakhir dijual adalah Edith Springs Station di akhir September.
Jadi apa yang menyebabkan perusahaan-perusahaan Indonesia ini melakukan investasi besar-besaran di Kawasan Australia Utara untuk kemudian dijual beberapa tahun kemudian?
BACA JUGA: Australia Jatuhkan Sanksi Terhadap 5 Pejabat Militer Myanmar
Berusaha memastikan pasokan ternakPerusahaan-perusahaan Indonesia membeli semua perternakan di musim kering, saat mereka kesulitan mendapatkan cukup hewan ternak untuk lahan penggemukkan.
Konsultan hewan yang berbasis di Indonesia yang juga pernah aktif di industri daging sapi di kawasan Australia bagian utara, Ross Ainsworth, mengatakan pasar ternak yang ketat telah menyebabkan beberapa tempat penggemukkan di Indonesia mencari cara untuk menopang pasokan ternak mereka.
"Saat itu, tempat penggemukkan menghasilkan banyak uang, sehingga beberapa orang berpikir, 'mungkin saya bisa membeli sendiri peternakan dan ini akan bantu saya menjamin pasokan," katanya.
"Jadi itu tujuan utamanya, untuk menjamin pasokan ternak, selain juga untuk berivestasi properti di waktu yang sama."Banyak hal yang tidak berjalan sesuai rencana, kata ahli
Namun, Ross mengatakan jumlah ternak yang dimiliki Kawasan Australia setiap tahunnya, perusahaan-perusahaan Indonesia hanya mampu memperoleh sedikit ternak yang mereka butuhkan setiap tahun dari peternakan mereka di Australia.
"Sebuah perusahaan penggemukan besar [di Indonesia] mungkin membutuhkan 60.000 ekor sapi [setahun], jadi walaupun membeli Victoria River Downs (salah satu peternakan sapi terbesar di Australia Utara), Anda tidak bisa mendapat 60.000 ekor setiap tahun, paling sekitar 25.000 ekor," katanya.
Ross mengatakan kenyataan menjalankan peternakan sapi di Kawasan Australia Utara, dengan biaya input tinggi dan margin keuntungan yang ketat, juga menjadi jelas bagi warga Indonesia.
"[Perusahaan-perusahaan] menemukan [bahwa menjalankan sebuah peternakan] itu sulit; mereka tidak menghasilkan banyak uang darinya, tetapi aset modal telah meningkat nilainya secara signifikan," katanya.
"Jadi mereka memutuskan untuk memotong kerugian operasional lebih lanjut dan mengambil keuntungan modal." Photo: Perusahaan Japfa Santori menjual Peternakan Riveren dan Inverway kepada salah satu orang terkaya di Australia di tahun 2016, tiga tahun setelah mereka beli. (ABC)
Warga Indonesia untung jutaan dolar dari penjualan properti
Meskipun masuk dan keluar dari industri ternak di Kawasan Australia utara relatif cepat, perusahaan-perusahaan Indonesia semuanya memperoleh keuntungan besar dari penjualan properti mereka, seperti yang ditemukan ABC Rural.
ABC Rural memahami jika perusahaan Japfa Santori membeli peternakan Riveren dan Inverway sekitar AU$39 juta, atau lebih dari Rp 390 miliar, dan menjualnya kurang dari tiga tahun kemudian seharga sekitar AU$60 juta, atau lebih dari Rp 600 miliar kepada perempuan terkaya Australia, Gina Rinehart.
Great Giant Livestock membeli peternakan Willeroo seharga AU$15 juta, atau lebih dari Rp 150 miliar, yang juga menjualnya kepada Gina seharga AU$ 33 juta, atau lebih dari Rp 300 miliar.
Pemilik Edith Springs Station sebelumnya mendapat lebih sedikit dari aset mereka, membeli seharga AU$ 4 juta, atau lebih dari Rp 40 miliar dan menjual ke seorang pastoralis Australia seharga sekitar AU$ 4,71 juta, atau lebih dari Rp 47 miliar.
Tanpa mengetahui rincian dari perusahaan yang terlibat, Ross menduga pengusaha Indonesia mendapat keuntungan selama mereka berada di Australia.
"Saya yakin mereka semua mendapat untung dan mereka senang, tapi mereka sekarang sadar bahwa itulah adalah investasi properti yang spekulatif, daripada investasi bisnis ternak yang operasional," kata Ross.
Artikel ini telah disunting dari laporan aslinya dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca disini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pria Timor Ditangkap di Bandara Perth Miliki Video Pornografi Anak-anak di HPnya