jpnn.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui regulasinya telah melonggarkan syarat pinjaman di perusahaan-perusahaan pembiayaan.
Namun, imbauan itu tidak membuat perusahaan-perusahaan pembiayaan ramai-ramai menerapkan down payment (DP) nol persen seperti saran OJK.
BACA JUGA: Kasus Asuransi, OJK Diminta tak Cuci Tangan
Pada praktiknya, perusahaan-perusahaan pembiayaan tetap menerapkan DP pada konsumen.
’’Sampai saat ini kami belum menerapkan itu (DP nol),” jelas Direktur Utama PT Mandiri Tunas Finance (MTF) Arya Suprihadi beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: 2 Strategi OJK Cegah Investasi Bodong
Padahal, perusahaan pembiayaan yang dia pimpin itu termasuk yang performanya bagus. MTF memiliki non performing loan (NPL) atau kredit macet rendah.
Yakni, di bawah satu persen. Sesuai aturan, MTF boleh memberlakukan DP nol persen.
BACA JUGA: Giliran OJK Pertanyakan Motif Koordinator Forum Pemegang Polis Jiwasraya
OJK memang tidak mengharuskan perusahaan-perusahaan pembiayaan menyalurkan kredit dengan DP nol persen. Mereka menyerahkan sepenuhnya kebijakan soal itu kepada tiap-tiap perusahaan.
MTF yang memiliki NPL di bawah satu persen dalam portofolionya pun menerapkan DP di atas 20 persen dalam sekitar 70–80 persen transaksinya.
Menurut Arya, MTF masih berfokus pada pembiayaan dengan DP besar. Sebab, DP nol persen sangat berisiko. Untuk konsumen yang mengajukan pinjaman dengan DP nol persen, biasanya justru risiko kredit macetnya tinggi.
’’Perusahaan yang akan menerapkan tentu melihat dampaknya ke depan,” tegas Arya.
Secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah pun mengatakan hal yang sama.
Menurut dia, DP rendah hingga nol persen memiliki dua risiko. Yakni, perubahan perilaku konsumen dan risiko gagal bayar karena nominal cicilan yang besar.
’’Karena tidak dipersiapkan secara matang, kendaraan yang dibeli tidak produktif dan membebani, peminjam tidak siap untuk mencicil, sehingga menjadi kredit macet,” kata Piter, Selasa (5/2).
Sebaliknya, konsumen yang siap dengan DP besar punya kemampuan mengangsur yang lebih besar. Sebab, nominal angsurannya juga tidak terlalu besar.
Banyak perusahaan yang memang nekat menawarkan DP rendah. Mereka mengharapkan pemasukan dari bunga pinjaman yang tinggi. Perusahaan seperti itu menanggung risiko gagal bayar yang juga tinggi.
’’Dampaknya tentu akan mendorong penjualan yang diiringi kemungkinan naiknya NPL,” tambah Piter. (nis/c7/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ikhtiar Misbakhun dan OJK Cegah Warga Desa Tertipu Investasi Bodong
Redaktur : Tim Redaksi