Perusahaan Tambang Minta Restrukturisasi, Pakar Minta Bank Hati-Hati

Jumat, 01 Juli 2022 – 07:42 WIB
Ilustrasi rupiah. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Perusahaan tambang batu bara PT BG di Sumatera Selatan dikabarkan telah mengajukan restrukturisasi utang kepada PT Bank Negara Indonesia (BNI).

Aksi korporasi tersebut diduga lantaran PT BG tidak mampu membayar cicilan termasuk bunga pinjamannya.

BACA JUGA: Tim Gakkum LHK Tangkap Pemodal Tambang Emas Ilegal di Parigi Moutong

Menanggapi hal tersebut, pengamat perbankan Deni Daruri mengatakan bahwa sebelum menyetujui permintaan restrukturisasi PT BG, bank harus melakukan uji kelayakan secara values.

Hal ini bertujuan untuk melihat prospek usaha dari perusahaan yang mengajukan restrukturisasi.

BACA JUGA: Kejagung Tindaklanjuti Laporan Pinjaman Mencurigakan Perusahaan Tambang Sumsel

"Apakah ketika direstrukturisasi akan memberikan dampak yang positif bagi perbaikan arus kas perusahaan tersebut dan apakah akan tidak memperbaiki arus kasnya? Sangat menentukan cara perbankan untuk memilah restrukturisasi seperti apa yang sebaiknya dilakukan dan restrukturisasi apa yang segera dilakukan perbaikan," kata Deni kepada wartawan, Kamis (30/6).

Dirinya pun mengungkap penyebab adanya perusahaan yang tidak mampu membayar bunga cicilan hingga kreditnya.

BACA JUGA: Bank BUMN Danai Perusahaan Tambang di Sumsel, Pakar Soroti Kejanggalan Ini

Ia mengatakan hal tersebut dapat terjadi jika perusahaan-perusahaan yang bermasalah tersebut tidak cermat dievaluasi oleh bank dalam menganalisa 6C yang harus dipatuhi dalam memeriksa kemampuan calon debitur.

Dia menjelaskan sebuah restrukturisasi yang benar harus membuat perusahaan tersebut berorientasi semata-mata kepada pembayaran biaya-biaya variabelnya saja.

Pasalnya, kata dia, jika perusahaan sampai berhenti beroperasi, maka akan merugikan bank yang telah memberikan pinjaman dana.

Terlebih jika bank tersebut tidak memiliki kolateral atau jaminan dari kredit yang telah mereka berikan.

Deni mengimbau agar semua bank di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memberikan arahan yang jelas bagi dunia perbankan terkait restrukturisasi usaha hingga kredit yang memiliki target orientasi objektif yang jelas dan usaha tersebut harus mampu membayar biaya variabelnya.

Deni mengatakan seharusnya pemerintah bisa belajar dari krisis perbankan tahun 1997, dan harus mampu membeli kredit macet dengan harga pasar bukan dengan harga buku.

Sehingga menurutnya, langkah tersebut bisa memberikan ruang kemungkinan yang besar upaya meningkatkan recovery aset dari kredit-kredit macet yang telah direstrukturisasi.

Sebab jika restrukturisasi terlanjur salah dilakukan, maka akan merugikan perbankan dan akan berpengaruh besar pada perekonomian Indonesia secara umum.

Deni pun meminta agar OJK mulai menganalisa perusahaan-perusahaan yang ingin mengajukan restrukturisasi, apakah langkah tersebut akibat bank telah melakukan analisa berdasarkan 6C secara Baik dan benar.

"Apakah itu BUMN atau non BUMN yang tidak menganalisa 6C secara baik. Berarti dengan diketahuinya tipe bank-bank yang tidak menganalisa 6C secara profesional, maka seharusnya diberikan sanksi," lanjutnya.

Tak hanya itu, menurutnya sistem restrukturisasi di bank-bank yang bermasalah harus segera diperbaiki secepat-cepatnya, mengingat krisis ekonomi yang bersifat stagflasi ini masih akan terus berlangsung dalam beberapa tahun ke depan. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler