jpnn.com, JAKARTA - Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mengecam berbagai kebijakan transportasi Indonesia yang kerap menimbulkan kegaduhan dan merugikan rakyat kecil.
Secara khusus, ProDEM menyoroti layanan berbagi kendaraan (ride sharing) berbasis teknologi aplikasi yang tidak patuh terhadap aturan-aturan, menabrak Undang-undang, tidak menggunakan program wajib negara, penuh tipu muslihat dan cenderung eksploitatif.
BACA JUGA: Dana APBN Terbatas, Menhub Deregulasi Sejumlah Aturan
"Layanan ride sharing mengacak-acak peraturan melalui tawaran program yang dimainkan masing-masing korporasi atau biasa disebut aplikator. Mereka menjalankan praktek merkantilisme dan neoliberalisme, karena mengekploitasi kondisi ekonomi dan rakyat miskin Indonesia," ujar Wasekjen Bidang Kebijakan Publik ProDEM, Dedi Hardianto melalui keterangan tertulis kepada media, Minggu (4/2).
Dedi mencatat, dari belasan perusahaan sejenis ada tiga perusahaan ride sharing yang bersaing ketat, seperti Grab, Uber dan Go-Jek, sementara sisanya layu sebelum berkembang, entah karena tidak memiliki konsep yang jelas atau hanya sekedar mencari sensasi semata.
BACA JUGA: Satu Bulan Berjalan, Program DPM Sudah Lantik 3.191 Peserta
Tiga kelompok yang tersisa ini memiliki bisnis di bidang transportasi roda dua dan roda empat, terkhusus Go-Jek merambah ke jasa pijat, layanan antar barang dan makanan, tiket bioskop dan tenaga kebersihan.
Para aplikator itu, kata Dedi, membantah anggapan bahwa pola bisnisnya berada di sektor teknologi, perhubungan dan ketenagakerjaan. Tujuannya, mengejar keuntungan sebesar mungkin, lalu mengaburkan pakem utama bisnis ini dengan menghilangkan potensi-potensi aturan dan pajak yang seharusnya dibayarkan berdasarkan jenis bisnis yang ditawarkan.
BACA JUGA: Menhub: PM 108 Tahun 2017 Memang ada Masalah
"Kelompok aplikator ini sukses besar mengadu domba 3 kementerian yang membidangi transportasi atau perhubungan, teknologi dan ketenagakerjaan. Mengaku bergerak di bidang aplikasi, faktanya kelompok ini melibatkan sektor perhubungan melalui transportasi darat milik para pekerja yang bekerja tanpa gaji di perusahaan aplikator tersebut," tegas tokoh gerakan buruh tersebut.
Dalam analisa ProDEM, normalnya para pekerja mendapatkan alat transportasi dari pemberi kerja, namun dengan pola picik perusahaan aplikator itu, para pekerja sukses dibohongi dan menggunakan kendaraan mereka sendiri.
Dengan sebutan mitra, kaum kelas pekerja dianggap sebagai pengusaha, padahal mereka bergabung dengan kelompok aplikasi ini karena membutuhkan pekerjaan dan penghasilan. Kelompok-kelompok pekerja ini diberikan brand seragam agar mudah dikenali dan dikontrol, akan tetapi, para pekerja ini secara tidak sadar justru telah kehilangan haknya sebagai tenaga kerja.
Kementerian Kominfo sebagai regulator bidang teknologi informasi juga sukses dibelah oleh kelompok aplikator tersebut. Kominfo yang seharusnya mengawasi, terbukti kehilangan peran dan 100% mengikuti pola main aplikator.
"Kemenkominfo sukses ditelanjangi, sama seperti Kemenhub dan Kemenakertrans," sebutnya.
Di situasi ini, imbuhnya, jutaan pekerja aplikator online tentu kehilangan haknya untuk menjadi peserta program kesehatan negara, yakni BPJS Kesehatan, padahal BPJS Kesehatan mengcover pekerja dan keluarganya 24 jam.
ProDEM mendesak agar para perusahaan aplikator memenuhi hak para pengemudi pekerja atau yang akrab disapa mitra, termasuk BPJS Ketenagakerjaan yang menjamin hari tua para pekerja.
"Pemerintah harus tegas, jangan seolah tak berdaya menangani situasi permainan aplikator tersebut. Presiden Jokowi harus turun tangan tak boleh membiarkan rakyat kian tereksploitasi begitu saja," tandas Dedi.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Undang Swasta Berinvestasi di Perhubungan tidak Mudah
Redaktur & Reporter : Yessy