jpnn.com, JAKARTA - Politikus Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan kemarahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi memang harus dilakukan.
Ketua Komisi II DPR itu menilai makna atau pesan dari kemarahan Jokowi itu bukan hanya untuk menteri.
BACA JUGA: Pak Jokowi Marah-Marah, Anis Matta Punya Saran untuk Cegah RI Jadi Negara Gagal
"Jadi itu pesan untuk kita semua. Saya kira bukan hanya soal kepada menteri, tetapi kita semua, terutama pengambil kebijakan tingkat pusat dan daerah," ujar Doli dalam diskusi virtual Menanti Perombakan Kabinet yang disiarkan salah satu stasiun radio swasta, Sabtu (4/7).
"Karena dalam menanggapi masalah pandemi Covid-19, problem bukan hanya di pusat, tetapi di daerah juga bermasalah," lanjut Doli.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Marah, PDIP Sebut Ada Pihak yang Mencari Aman
Ia mencontohkan Komisi II DPR dalam tiga bulan terakhir ini membahas soal ditundanya kemudian dilanjutkannya kembali Pilkada Serentak 2020, yang ternyata banyak sekali problem di dalamnya.
Dia mengatakan beberapa waktu lalu ke Medan, Sumatera Utara, bersama Kemenko Polhukkam dan Kemendagri bertemu dengan semua kepala daerag yang melaksanakan pilkada serentak. Ternyata, kata Doli, dalam soal teknis saja seperti untuk memenuhi kewajiban NPHD atau naskah perjanjian hibah daerah masih ada masalah.
BACA JUGA: Kombes Helmi: Di Mana pun Kamu Berada, Asli, Kami Kejar!
"Belum lagi bicara soal Covid-19," katanya.
Jadi, Doli menangkap pesan presiden bahwa situasi saat ini sudah extraordinary atau tidak biasa. Karena itu, lanjut dia, harus disikapi pula dengan tidak biasa.
"Tidak business as usual. Jadi ekstakeras. Mungkin ada capaian diambil, tetapi tidak cukup," ungkapnya.
Menurut dia, kalau presiden marah dalam situasi ini maka jajarannya dan semuanya harus mengubah pola kerja, pola pikir, dan langkah kebijakan yang luar biasa.
"Karena kalau tidak luar biasa, saya kira situasi ini bisa jadi memburuk. Jadi, saya menangkapya seperti itu," ungkapnya.
Doli juga merespons soal polemik persoalan data, yang merupakan masalah klasik. Menurut Doli, memang Indonesia tidak punya satu institusi atau siapa pemegang otoritas yang dengannya bisa mengetahui persis seperti apa masalah data kependudukan.
Kalau sekarang, kata Doli, semua datanya masih bersifat sektoral. Bicara tentang kependudukan, datanya dipegang Kemendagri.
"Kalau bicara tentang masalah data kemskinan itu tidak mau diganggu tuh Kemensos, mereka punya Pusdatin sendiri. Ya mereka anggap itu punya kami dan tidak boleh diakses, sementara di lapangan menjadi problem. Belum lagi data BPS," jelasnya.
Doli menyatakan ke depan memang diperlukan single identity number atau SIN dan harus dikelola oleh lembaga yang langsung di bawah presiden yang terintegrasi semua datanya.
"Kalau sekarang ini jadi saling menyalahkan akhirnya. Antar menteri data beda, sehingga jadi problem," paparnya.
Dia mengatakan, dengan pesan yang disampaikan presiden maka pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat harus mengubah mindset-nya.
"Masa ketidaknormalan atau bahasa barunya menuju masa transisi new normal bukan serta merta membuat kita santai, tetapi harus extraordinary," ungkap dia. (boy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Boy