jpnn.com, JAKARTA - Ombudsman meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tidak hanya fokus pada pendidikan digital.
Perbaikan dan pembangunan gedung sekolah rusak yang masih kurang dilakukan juga harus diperhatikan.
BACA JUGA: Tidak Masuk Daftar Undangan Bertemu Mendikbud Nadiem Makarim, Forum Honorer K2 Kecewa Berat
Hal ini untuk menjalankan kebijakan zonasi dan melengkapi fasilitas sekolah, seperti komputer dan internet, apalagi untuk daerah terpencil dan desa termasuk juga kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
"Jadi bukan hanya pendidikan digital tetapi juga perlu diperhatikan fasilitas dan prasarana sekolah," ujar Anggota Ombudsman Ahmad Suadi dalam keterangan resminya, Kamis (31/10).
BACA JUGA: Jadi Inspektur Upacara Hari Sumpah Pemuda, Nadiem Makarim Beri Pidato Mencengangkan
Ombudsman selama ini menampung keluhan dari masyarakat, soal kebijakan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi. Menurut Ahmad, tiap tahun selalu masuk keluhan masyarakat mengenai sistem zonasi sekolah.
Ahmad menambahkan, tidak hanya sistem zonasi. Masyarakat mengeluh dengan kebijakan pemerintah yang memaksa siswa untuk melakukan ujian nasional menggunakan komputer (UNBK), pada siswa yang sekolahnya belum punya fasilitas komputer atau di daerah terpencil yang belum ada jaringan internet.
BACA JUGA: Enam Ibu Rumah Tangga Ini Bukannya Masak di Rumah Malah Jual Narkoba
Akibatnya siswa dari daerah terpencil harus menumpang ke sekolah lain untuk melaksanakan ujian nasional.
"Ada juga daerah yang belum terjangkau internet karena di daerah 3T. Untuk ujian harus menumpang di sekolah lain, ini memprihatinkan ya. Apalagi alokasi dana pendidikan di APBN sudah sedemikian besar," ujarnya.
Sejumlah rekomendasi itu bisa menjadi masukan untuk Mendikbud Nadiem Makarim untuk menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. Emil Salim ahli ekonomi dan Mantan Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di masa Presiden Soeharto, pendapatan negara, terutama pendapatan negara yang surplus, harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dirasakan langsung oleh banyak masyarakat. “Bukan hanya asal bangun infratruktur saja,” paparnya.
Dia mencontohkan bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan surplus dari kenaikan neraca minyak bumi yang terjadi pada 70-an untuk pembangunan sekolah-sekolah di desa dan daerah tertinggal.
Menurut dia, Presiden Soeharto pada waktu itu langsung terjun ke lapangan dan mengatakan harus membangun sekolah-sekolah itu supaya terjadi pemerataan pada masyarakat, terutama pemerataan pendidikan sekolah dasar di Indonesia.
"Masyarakat tahu mereka harus sekolah tetapi pada waktu itu belum ada gedung sekolah. Saat gedung-gedung sekolah selesai dibangun, dinamika semangat untuk sekolah tinggi dan tercapailah pemerataan," ujar Emil.
Keberhasilan SD Inpres ini bahkan mengantarkan salah satu dari tiga ekonom asal Amerika meraih nobel mereka adalah Abhijit Banerjee, Esther Duflo dan Michael Kremer.
Penelitian Duflo diterbitkan di Agustus tahun 2000 dengan judul schooling and labor market consequences of school construction in Indonesia: evidence from an unusual policy experiment (konsekuensi sekolah dan pasar tenaga kerja dari pembangunan sekolah di Indonesia: bukti dari eksperimen kebijakan yang tidak biasa).
Dalam abstraksinya dia menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia tahun 1973 dan 1978.
Di mana RI membangun lebih dari 61.000 SD. Dalam risetnya, dia menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan peningkatan pendidikan dan pendapatan di Indonesia.
Karena itulah Mendikbud Nadiem Makarim diingatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks dalam dunia pendidikan tersebut. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad