Pesantren Ala Kadarnya di Pulau Sebatik, Asa Santri di Perbatasan Negeri

Minggu, 12 November 2023 – 19:47 WIB
Asrama santri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khairaat di Kampung Tanjung Arau, Kecamatan Sebatik Timur, Nunukan. Foto: Kenny Kurnia Putra/JPNN.com

jpnn.com - Selama ini Pulau Sebatik di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, lebih dikenal sebagai wilayah terpencil dan terluar. Namun, pulau milik Indonesia dan Malaysia itu juga dikenal sebagai pencetak santri.

Kenny Kurnia Putra, Sebatik

BACA JUGA: Ide Ganjar Mewujudkan Amanat UU Pesantren demi Kemajuan Ponpes

DATA Balai Karantina Pertanian Kelas II Tarakan menunjukkan Pulau Sebatik memiliki daratan seluas 433,84 kilometer persegi. Dari angka itu, luas bagian Sebatik yang masuk Indonesia mencapai 246,61 kilometer persegi, sedangkan 187,23 kilometer persegi menjadi milik Negara Bagian Sabah, Malaysia.

Sebatik memiliki lima kecamatan dengan 19 desa.  Hampir di setiap desa di Sebatik memiliki pesantren.

BACA JUGA: Pidato Lengkap Megawati, Bicara Rekayasa Hukum hingga Penculikan Aktivis 

“Ada puluhan pesantren di sini,” ujar Ketua Komisaris Daerah Yayasan Al Khairat Nunukan Suniman Latasi kepada JPNN.com beberapa waktu lalu.

Yayasan Al Khairaat juga memiliki sebuah pesantren di Kampung Tanjung Arau, Kecamatan Sebatik Timur. Namanya Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khairaat.

BACA JUGA: Hasto Ungkap Pertemuan Megawati - Jokowi di Istana, Keluarnya Happy Semua, Klir!

Beberapa waktu lalu Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengunjungi pesantren yang memiliki 50 santri itu.

Menurut Suniman, Yayasan Al Khairaat mendirikan pesantren di Sebatik karena untuk memenuhi permintaan masyarakat setempat.

"Kami dari masyarakat, khususnya dari organisasi Yayasan Al Khairat ini mengambil bagian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan jalan mendirikan pondok pesantren," kata Suniman.

Namun, sarana dan prasarana Ponpes Al Khairaat di Sebatik masih minim. Lokasinya di tengah perkampungan dan tak banyak orang yang tahu keberadaannya.

Kondisi Ponpes Al Khairaat di Sebatik bisa dibilang memprihatinkan. Bangunannya terlihat seperti ruko yang disulap menjadi asrama putra.

Asrama yang ditempati sekitar 50 santri itu menggunakan tripleks sebagai jendelanya. Asrama ponpes yang berada di belakang musala itu hanya memiliki dua ruang kelas berdindingkan tripleks yang pecah di beberapa bagian.

Fasilitas itu jauh dari kata layak untuk lembaga pendidikan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Suniman menuturkan Ponpes Al Khairaat di Sebatik baru berusia dua tahun.

"Sekarang asrama putra ini baru 50 orang. Insyaallah kalau sarananya sudah terpenuhi, bahkan itu sudah banyak dari anak-anak pekerja migran Indonesia ingin mendaftar di pesantren ini," tuturnya.

Jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) di Tawau, Sabah, Malaysia diperkirakan mencapai puluhan ribu orang. Perjalanan laut menggunakan perahu motor dari Tawau ke Sebatik hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam.

Menurut Suniman, pesantren di Sebatik tidak hanya memiliki santri dari warga setempat, tetapi juga dari Sabah.

"Anak-anak dari Tawau masih banyak yang mau belajar disini. Cuma keterbatasan mereka," tuturnya.

Khusus Pesantren Al Khairaat, sampai saat ini masih membutuhkan ruang kelas dan asrama yang layak, serta pagar kompleks.

"Mungkin total anggarannya itu sekitar Rp 5 miliar," kata Suniman.

Saat ini pesantren itu masih mengandalkan dana dari swadaya masyarakat. Misalnya, untuk pembangunan musala pun masih mengandalkan donasi dari warga.

"Musala ini masih hibah dari masyarakat. Jadi, belum ada bantuan dari pemerintah," tutur Suniman.

Oleh karena itu, dia mengharapkan pemerintah bisa memperhatikan pendidikan, terutama pondok pesantren di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia itu.

"Pemerintah memperhatikan sekolah swasta, pesantren, begitu juga sebaliknya," harap Suniman.

Salah satu santri Ponpes Al Khairaat Sebatik, Muhammad Syahril, mengharapkan kelak bisa meraih masa depan yang lebih baik ketimbang orang tuanya.

Syahril -sapaan akrabnya- menceritakan kesehariannya di pondok itu diawali dengan hafalan Al-Qur'an yang dilanjutkan pelajaran lainnya.

“Sehabis itu kami salat Zuhur, makan, dan istirahat. Setelah salat Asar kami baca ratib dulu baru belajar,” katanya.

Ada juga kegiatan yang bersifat santai. “Setelah  belajar kami kadang main bermain bola atau prakarya," tutur Syahril.

Asa Syahril menemui titik cerah setelah Menteri Sosial Tri Rismaharini datang ke Ponpes Al Khairaat Sebatik guna memberikan bantuan berupa seragam  dan tiga unit komputer.

"Senang sekali dapat bantuan. Seragam biasanya pakai sarung yang seperti ini dan pakai baju putih," kata Syahril.

Anak baru gede itu mengatakan Ponpes Al Khairaat pernah berencana menerapkan ujian berbasis komputer. Namun, rencana itu urung dilakukan karena ketiadaan komputer.

"Kata guru kami, pengin ujian pakai komputer, tetapi tidak punya dan nanti diusahakan. Ini dapat bantuan, insyaallah pakai komputer," ucap Syahril.

Namun, Syahril juga mengharapkan ada bantuan lain dari pemerintah, yakni pembangunan ruang kelas dan asrama. Saat ini hanya ada dua kelas di Ponpes Al Khairaat.

"Jadi, mohon doanya," harap Syahril.

Selain itu, Syahril juga menuturkan soal banyak rekannya yang tidak memiliki kasur karena keterbatasan biaya.

"Ada yang punya (kasur) ada yang enggak. Kalau enggak ada tidur pakai alas tikar saja,” katanya.

Syahril dan rekan-rekannya juga menyisihkan uang Rp 1000 rupiah untuk urunan guna membeli kipas angin.

“Kipasnya juga kurang. Rusak semuanya. Jadi, kami kumpul uang untuk beli kipas," katanya.(mcr8/jpnn.com)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler