jpnn.com - MEDAN - Pesantren Darusy Syifa di Dusun 4, Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deliserdang, Sumut, diharapkan menjadi tempat belajar bagi anak-anak para mantan teroris.
Wadah edukasi yang berbau islami ini letaknya cukup jauh dari Kota Medan.
BACA JUGA: Waspada, Ada Teror Sayat Paha Wanita Muda
Kurang lebih, waktu perjalanan yang ditempuh hingga 60 menit. Pesantren ini dibangun oleh mantan napi teroris, Khairul Ghozali.
Teroris yang terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga tahun 2011 lalu ini berharap, pesantren yang dibangunnya dapat menjadi wadah deradikalisasi bagi generasi muda.
BACA JUGA: Mahasiswi Kedokteran Unsoed Diculik di Dekat Kampus
Lokasi pesantren dibangun pada 16 Januari 2016 lalu, di atas tanah seluas 7.000 meter persegi. Menurut Ghozali, tanah itu diberikan oleh Gubernur Sumut.
Namun kini, luas tanahnya meluas mencapai 30 hektar. Direncanakan, akan dibangun masjid juga.
BACA JUGA: Gas Melon Langka, Per Tabung Tembus Rp 25 Ribu
Kemarin (7/9), peletakan batu pertama pembangunan mesjid untuk pesantren itu dihadiri langsung Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Suhardi Alius dan Kapolda Sulteng Brigjend Pol Rudy Sufahriadi yang mewakili Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
“Di sini ada murid 20 orang, mereka menginap semua,” kata Ghozali.
Dia menceritakan, sejauh ini sudah ada enam bangunannya. Lima diantaranya asrama dan satu unit bangunan lainnya adalah kantor pesantren itu. Dia bilang, aktivitas dimulai pukul 04.30 WIB.
“Lalu setelah solat subuh berjamaah, seluruh santri belajar menghapal kitab suci Al-quran,” sambung dia.
Lebih jauh, pukul 08.00 hingga 12.00 WIB, dilanjutkan dengan belajar pelajaran umum. Rata-rata, seluruh santri ikut dalam belajar dalam kurikulum 2013, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Lalu istirahat solat makan, yang kemudian dilanjutkan kembali belajar tentang agama, tepat pukul 14.00 hingga 20.00 WIB.
Menurut dia, seluruh murid berasal dari Sumut hingga Medan dan sekitarnya. Dia bilang, 20 murid itu merupakan anak-anak dari para pelaku yang melakukan aksi teror.
“Seperti kasus penyerangan Polsek Hamparan Perak, Pelatihan Militer di Aceh dan lain-lainnya terkait dengan kejadian teror,” kata dia.
Kaget memang mendengar cerita dari Ghozali. Soalnya, dia bilang, pembangunan pesantren itu dari dana pribadinya sendiri. Meski tak semua. “Satu persatu ada donatur. Untuk pembangunan mesjid ini, dari BNPT,” kata dia.
Target dia membangun pesantren ini adalah memutus mata rantai radikalisme. Tujuannya, agar anak-anak dari para pelaku aksi teror itu tak mengikuti jejak sang orangtuanya.
“Jangan ada lagi tindakan terorisme di Indonesia. Itu terjadi karena tidak adanya pembinaannya jadi dengan mudah dicuci otak anak-anak,” harap Ghozali.
Menurut dia, pesantren ini dibangun atas keprihatinannya terhadap paham radikalisme yang perlahan mulai membelit anak-anak.
Kata dia, sudah ada 1.000 ikhwan yang dipenjara karena terlibat terorisme.
Jika dari tiap orang yang dipenjara ini memiliki tiga orang anak, simpul Ghozali, maka ada 3.000 anak yang terlantar.
Dalam pemahaman etika islam, kata pria berkacamata ini, ada dikenal Birrul Walidain. Artinya, tiap anak harus berbuat baik kepada kedua orangtuanya.
Melalui modus Birrul Walidain ini, dia bilang, banyak ayah mengajak anaknya untuk melakukan aksi teror.
“Kalau anaknya menolak, maka dicap sebagai anak yang berdosa,” sebut Ghozali.
Ketua Panitia Pembangunan Masjid di Pesantren Darusy Syifa yang juga merupakan pejabat di BNPT, Herwan Khaidir berharap, dengan ada pesantren ini orang-orang yang sempat terpapar paham radikal akan kembali ke jalan yang benar.
“Mudah-mudahan, di sini (pesantren Ghozali), dapat meluruskan paham aktivis Islam yang terpapar radikalisme,” ujar dia.
Sementara, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Suhardi Alius meminta, masyarakat untuk tidak mengucilkan anak-anak mantan teroris.
Dia bilang, sejatinya anak-anak mantan teroris ini harus dirangkul. Menurut dia, anak-anak para mantan teroris harus diberikan pemahaman tentang bahaya radikalisasi.
Suhardi menambahkan, generasi muda harus diajarkan betapa Islam adalah agama yang damai. Bahkan, Islam adalah agama rahmatan lil alamin.
“Islam itu penuh kasih sayang. Siapapun yang punya masa lalu, biarlah berlalu. Marilah kita gapai masa depan,” sambung Suhardi.
Lain halnya dengan Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Rudy Sufahriadi. Dia mengaku, tidak bangga saat dirinya menembak teroris. Bahkan, Penanggung jawab Operasi Tinombala ini malu jika melukai teroris saat penindakan.
"Kami tidak bangga menembak teroris. Kami prihatin apabila melakukan tindakan itu," ungkap Rudy.
Dia bilang, memutus mata rantai gerakan teroris, sejatinya melakukan tindakan persuasif. Salah satunya membangun wadah-wadah deradikalisasi sebagaimana yang dibuat Ghozali.
“Kami sangat senang dengan adanya upaya seperti ini. Saya harus beri contoh kepada petugas yang ada di Sulawesi,” pungkasnya. (ted)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jogja Memang Istimewa, Ada Nikah Massal di Kereta
Redaktur : Tim Redaksi