Peta Jalan Industri Tembakau Bukan Monopoli Kemenperin

Senin, 02 Mei 2016 – 18:13 WIB
Peta Jalan Industri Tembakau Bukan Monopoli Kemenperin

jpnn.com - JAKARTA - Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Enny Ratnaningtyas mengatakan, peta jalan industri tembakau merupakan pembahasan dari lintas kementerian. Tidak hanya Kementerian Kesehatan tapi juga Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Menurutnya, penilaian peta jalan industri tembakau tidak semata-mata monopoli Kemenperin. 

BACA JUGA: Dukung KEK Selayar, Ini Langkah Pertagas

"Semua kementerian ikut membahas, peta jalan itu bukan monopoli Kementerian Perindustrian. Kami mengundang semua, termasuk Kementerian Kesehatan," tegas Enny, saat dihubungi wartawan, Minggu (1/5). 

Pernyataan ini disampaikan Enny terkait dengan tulisan Guru Besar Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany dalam opini di sebuah surat kabar yang menyebut bahwa Kementerian Perindustrian telah mengganjal Nawacita Presiden Jokowi karena menerbitkan Permenperin Nomor 65 Tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau. Tak cuma itu saja, ia mengklaim tiap tahun industri rokok memakan nyawa lebih dari 200 ribu. 

BACA JUGA: Triwulan I, PGN Raih Laba Rp 1,36 triliun

Enny menjelaskan, peta jalan industri tembakau itu sudah memperhatikan semua aspek, termasuk aspek kesehatan dan juga disesuaikan target cukai yang tiap tahun naik. Adapun soal target produksi rokok 524 miliar batang pada 2020 juga sudah memperhatikan berbagai aspek mulai laju inflasi hingga target pertumbuhan ekonomi. 

"Dalam peta jalan sebelumnya, sebanyak 260 miliar batang itu juga sudah melampaui target. Angka 520 miliar batang itu, sudah memperhitungkan banyak hal. Dengan target itu juga supaya pemerintah tahu kebutuhan tembakau berapa," tegasnya. 

BACA JUGA: Pajak Online Tunggu Finalisasi Perda

Nah, dengan target tadi itu, otomatis semua menghitung berapa jumlah tembakau yang diperlukan. Sehingga dari sisi Kementerian Pertanian bisa menghitung, kalau dirasa kurang perlu meningkatkan produksi ataukah bisa impor. Namun, semua akan terdata terekam. 

"Jadi, peta jalan itu kesepakatan bersama. Jangan lupa, ada target keuangan dari sisi cukai. Kalau dari sisi kesehatan kita tahu ada PP 109, dan jelas ada aturan bagaimana merokok tidak sembarangan.  Dari sisi produksi pun itu sebenarnya tidak tinggi, dihitung mengikuti inflasi" tandasnya. 
 
Peta jalan industri tembakau, kata Enny, agar semua kementerian punya peran. Dengan peta jalan, justru akan tergambar misal berapa banyak kebutuhan cengkeh. Nah, peta jalan itu juga untuk membuat industri lebih teratur sekaligus menekan impor-impor tembakau yang tidak terdata.

"Sebelumnya kan jadi rush, dibiarkan saja, ini dikembangkan, sehingga tren jenis tembakau seperti apa, supaya sesuai dengan peta jalan. Dari sisi kesehatan, kan dari cukai itu ada juga pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah  (PDRD) sebesar 10% yang dikompenasikan ke kesehatan. Artinya kesehatan diberikan porsi dalam peta jalan itu," ucap Enny.

Bahwa kemudian sejumlah kalangan menilai industri hasil tembakau berbahaya, menurut Enny itu sah-sah saja. Namun, industri hasil tembakau merupakan industri yang legal dan mengikuti aturan yang sangat ketat, membayar cukai, dan masuk kategori produk pengawasan.  

"IHT kan legal, dari sisi pendirian usaha baru saja makin berat, industri ini sangat dikontrol. Bahkan pemerintah sampai memonitor misalkan mesin peliting harus didaftarkan, agar diketahui kapasitas produksinya. Kami tidak menjerumuskan masyarakat untuk merokok, justru mengaturnya. Masak segalanya selalu disebabkan asap rokok," kata Enny. (jpg) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Triwulan I, PGN Raih Laba Rp 1,36 triliun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler