Petani Cakung Menuntut Proyek Jakarta Garden City Disetop

Selasa, 10 Juli 2018 – 23:59 WIB
Mahkamah Agung. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Para petani Cakung akan menempuh upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas sengketa lahan di Rorotan, Jakarta Timur, melawan pengembang Jakarta Garden City. PK ini untuk menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1158/K/PDT/2017 tertanggal 17 Juli 2017 antara Sutiman dan Trimulyo Harsoyo.

Marthen N selaku kuasa hukum petani Cakung mengatakan, hpaya tersebut dilakukan mengingat putusan MA itu ditafsirkan oleh beberapa pihak adalah putusan antara Pemprov DKI dan DPRD DKI Jakarta terkait dengan sengketa Sutiman dengan gubernur DKI Jakarta.

BACA JUGA: Forum Ahli Waris Pulau Pari Anggap Laporan Ombudsman Keliru

Karenanya mereka meminta agar segala proses pembangunan dan juga penjualan di perumahan elite Jakarta Garden City (JGC) yang digarap oleh Grup Astra, Hongkong Land & Modernland dihentikan. Hal ini karena proses hukum tengah berjalan di objek lahan tersebut dan untuk menghindari kerugian masyarakat.

“Padahal kedua putusan tersebut substansinya berbeda. Karena itu, minggu depan kami akan ajukan PK,” ujar dia dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (10/7).

BACA JUGA: Terdakwa Kasus Tanah di Kosambi Kena 8 Bulan, Korban Kecewa

Menurut dia, Sutiman bin Ayub sebagai perwakilan petani Cakung masih tetap memiliki hak atas sawah dan lahan tersebut. “Gugatan Pemprov DKI hanya terkait sita jaminan, bukan masalah kepemilikan lahan tersebut,” kata dia.

Marthen juga mengultimatum pihak-pihak yang turut mengklaim lahan milik Sutiman agar menghentikan upaya memperkeruh situasi. Secara hukum dan status quo, lahan seluas 25 hektare dan 35 hektare di wilayah Rorotan itu, menurut Marthen, tetap hak milik Sutiman.

BACA JUGA: Telak, Jokowi Sentil BPN Sumbar Soal Utang ke Rakyat

Selain mengajukan PK, menurut dia, para petani Cakung juga akan melaporkan dugaan atau indikasi tindak pidana korupsi dalam pengalihan lahan seluas 25 hektare itu. Marthen juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung harus turun tangan untuk menindaklanjuti kasus ini.

Konsorsium pengembang perumahan mewah ASYA, lanjut dia, juga diminta untuk menghentikan penjualan rumah mewah di atas lahan milik para petani Cakung. Menurutnya, setiap transaksi pada unit perumahan itu memiliki konsekuensi hukum.

"Kami mengimbau masyarakat atau konsumen agar menghindari kerugian di kemudian hari untuk tidak melakukan proses pembelian pada objek sengketa di lahan perumahan Jakarta Garden City, terutama Cluster ASYA," kata Marthen.

Sementara itu, Sutiman menjelaskan, para petani Cakung sangat kehilangan mata pencaharian karena lahan garapannya diserobot pengembang. “Jelas kami sangat kehilangan, karena pengambilan lahan ini secara sepihak. Ganti ruginya tidak ada. Kami harus mengadu ke mana?” kata Sutiman.

Dia mengaku Pemprov DKI Jakarta dulu pernah menjanjikan ganti rugi Rp2.500 per meter atas lahan tersebut. Janji tersebut disampaikan Sekda Pemprov DKI Jakarta Saefullah dalam surat kepada para petani Cakung pada 2015. “Namun sampai detik ini dana itu tidak pernah kami terima,” ungkap Sutiman.

Dikisahkannya, lahan garapan para petani di wilayah Rorotan, Cakung, sebelumnya masuk dalam daerah Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Namun pada tahun 1970-an dengan keputusan Gubernur Jawa Barat, daerah tersebut dimasukkan ke dalam wilayah administrasi kota Jakarta Timur.

Pada awal tahun 1980 Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memiliki program inventarisasi wilayah untuk Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan waduk. "Tanpa kami ketahui sebelumnya, ternyata belakangan Pemprov DKI Jakarta malah menyerahkan ke pihak swasta untuk dibangun danau," kata dia.

Sejak lahan itu dikuasai oleh proyek perumahan elite salah satu pengembang, lahan yang seluas 60 hektare milik para petani atas nama Sutiman bin Ayub dan kawan-kawan otomatis tidak bisa lagi dimanfaatkan. Padahal lahan itu dulunya bisa membantu perekonomian masyarakat dengan ditanami padi, sayuran hingga tempat untuk berternak bebek.

Akibatnya, lanjut Sutiman, sejak 2015, mereka jadi pengangguran. Mereka tidak diperbolehkan lagi menggarap lahannya, lantaran dihalang-halangi pengembang. “Dulu setiap tahun satu hektare sawah bisa menghasilkan 3-5 ton gabah, sekarang kami hanya bisa memandang dari jauh," pungkas Sutiman. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahli Buktikan Christoforus Korban Dakwaan Bodong


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler