Petrus Sebut Hasto Tumbal Politik, KPK Jadi Tunggangan 'Partai Perorangan' Jokowi

Senin, 30 Desember 2024 – 15:03 WIB
Petrus Selestinus. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka, Selasa (24/12/2024) dalam kasus dugaan suap Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR RI yang melibatkan Harun Masiku.

"Tindakan KPK sungguh memalukan, karena mengorbankan independensi dan profesionalismenya. Bahkan KPK merusak dan melacurkan profesinya sendiri hingga runtuh kedigdayaannya akibat ulah sendiri," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH di Jakarta, Senin (30/12/2024).

BACA JUGA: PDIP Fokus Persiapkan Langkah Hukum untuk Hasto Kristiyanto

Menurut Petrus, publik menilai penetapan status tersangka kepada Hasto jelas memosisikan KPK sebagai alat politik mantan Presiden Joko Widodo lewat kroni-kroninya di Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto.

"Kroni-kroni itu secara efektif mengeksekusi keinginan Jokowi, termasuk menjadikan Hasto tersangka, sekaligus jadi tumbal politik 'partai perorangan' Jokowi," jelas Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.

BACA JUGA: Hasto Kristiyanto jadi Tersangka, Jokowi: Hehee...

Kondisi tersebut, kata Petrus, tentu sangat memprihatinkan karena paradoks dengan visi Prabowo menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), sementara institusi KPK yang sudah berada di rezim Prabowo, tetapi politisasi hukum dan institusi hukum, yang selama ini menjadi model penegakan hukum di era Jokowi, masih saja mendapat tempat di KPK dan institusi penegak hukum lainnya, yakni Polri dan Kejaksaan Agung.

"KPK dijadikan alat untuk kepentingan politik Jokowi, melalui apa yang disebut 'partai perorangan' yang notabene masih Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Namun operatornya adalah kroni-kroni Jokowi di Kabinet Merah Putih lewat 'partai Perorangan' dan 'partai cokelat," paparnya.

BACA JUGA: Megawati Memperpanjang Masa Jabatan Pengurus PDIP, Hasto Kristiyanto Tetap Sekjen

Quo Vadis Negara Hukum?

Peristiwa di mana Hasto akhirnya ditersangkakan oleh KPK setelah perkara pokok berkekuatan hukum tetap sejak 2 Juni 2021 atau 3 tahun lalu, kata Petrus, kini penyidikannya dibuka kembali dengan aksi publisitas yang tinggi bahwa Hasto akan ditersangkakan untuk setiap kali Sekjen PDIP itu bersuara keras mengkritik Jokowi.

"Ini salah satu contoh kasus yang unik. Sebab baru pertama kali setelah sebuah penyidikan dinyatakan sempurna tanpa Hasto diproses hukum hingga putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) berkekuatan hukum tetap serta telah dilaksanakan, tetapi tiga tahun kemudian muncul nama Hasto dan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan perintangan penyidikan. Ini jelas berimplikasi hukum, akan mengubah putusan menutup jalannya proses hukum terhadap Hasto," terangnya.

"Pola susulan nama tersangka kemudian, setelah sebuah proses hukum diputus dan berkekuatan hukum tetap, merupakan model baru dan unik, dan ini menunjukkan KPK melacurkan tugas pokok dan fungsinya sebagai penyidik dan penuntut umum, bahkan sekaligus mengukuhkan posisi KPK sebagai alat politik Jokowi meskipun dia tidak lagi berkuasa di era pemerintahan Prabowo," lanjutnya.

Jokowi, tegas Petrus, nampak secara sistematis mempersiapkan sarana dan prasarana sebelum lengser dari jabatan Presiden, untuk menjerat lawan-lawan politiknya ketika tidak lagi berkuasa, sehingga ia bisa mempersenjatai diri secara politik lewat apa yang disebut "partai perorangan" guna membungkam lawan-lawan politiknya lewat KPK, menjungkirbalikkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atas nama Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri.

Memeras Pengakuan

Penyidik KPK diduga Petrus kuat melakukan prakrik "memeras pengakuan" serta merekayasa dan merangkai keterangan saksi-saksi, dan bisa saja keterangan Saeful Bahri dan Doni Tri Istiqomah cukup dengan menduga bahwa uang Rp 680 juta yang diberikan kepada Komisoner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 Wahyu Setiawan sebagian berasal dari Hasto.

"Memeras pengakuan dari saksi atau rersangka adalah pola kerja penyidik HIR pada era Orde Baru. Karena itu Saeful Bahri, Donny Tri Istiqomah dan beberapa saksi lainnya yang diperiksa oleh penyidik KPK sekitar Juni-Juli 2024 disebut mengalami intimidasi, kemudian hasil intimidasi dan pemerasan keterangan itu dirangkaikan menjadi suatu perbuatan atau kejadian yang seolah-olah terdapat persesuaian antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana suap itu sendiri, seolah-olah peristiwa suap itu ikut dilakukan Hasto," urainya.

"Konstruksi hukum yang dibangun penyidik KPK dalam mentersangkakan Hasto akan mengacaukan seluruh hasil penyidikan KPK, Surat Dakwaan Penuntut Umum KPK dan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga Putusan MA dalam perkara suap Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri," tambah Petrus.

Mengapa? "Karena berdasarkan hasil penyidikan KPK yang telah dinyatakan sempurna dan lengkap oleh Penuntut Umum, kemudian berkas perkara dilimpahkan ke persidangan pengadilan untuk diverifikasi dan divalidasi secara terbuka, termasuk Hasto ikut didengar keterangannya di bawah sumpah sebagai saksi, telah ditemukan bukati-bukti sempurna dan meyakinkan bahwa yang terlibat suap hanyalah Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina sebagai penerima suap, serta Saeful dan Hasto selaku pemberi suap.

KPK Merintangi

Kegagalan KPK menangkap Harun Masiku selama lima tahun, menurut Petrus, adalah bukti bahwa KPK sendiri yang merintangi penyidikan terhadap Hasto.

"Secara tim kerja, kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki KPK serta kecanggihan alat sadap yang dimiliki KPK, maka tidak ada istilah KPK gagal meng-OTT! (Operasi Tangkap Tangan) terhadap setiap orang, kecuali internal KPK sendiri yang membocorkan rencana OTT dan itu yang sering kali terjadi selama ini," sesalnya.

Dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada Harun, yang hingga saat ini dinyatakan buron, yang membuat KPK secara institusi gagal menangkap Harun, seharusnya adalah para penyidik KPK itu sendiri.

"Mereka teledor, melacurkan diri kemudian informasi OTT itu dibocorkan. Maka yang harus dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus perintangan penyidikan Harun adalah penyidik KPK itu sendiri," pintanya.

Dengan demikian, lanjut Petrus, KPK harus segera membatalkan penetapan tersangka atas nama Hasto Kristiyanto, karena terdapat bukti-bukti yang kebenarannya tak terbantahkan lagi, yaitu yang menyuap penyelenggara begara Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina adalah Saeful Bahri. Sementara Harun Masiku masih berstatus tersangka yang belum bisa dibuktikan," cetusnya.

KPK Tak Berwenang

Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2019 tentang KPK, menurut Petrus, secara tegas membatasi KPK hanya boleh melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan/atau orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; dan/atau b) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Pasal 11 UU No 19 Tahun 2019, lanjut Petrus, juga mewajibkan KPK menyerahkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur pada Pasal 11 ayat (1) kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.

"Dalam kasus suap Wahyu Setiawan, nominal suap yang diberikan atau diterimakan kepada Komisioner KPU itu oleh Saeful Bahri dan Harun Masiku hanya Rp 683.000.000 dan itu berarti kurang dari Rp1 miliar, serta bukan berkategori kerugian negara," cetusnya.

Dengan demikian, masih kata Petrus, menurut Pasal 11 UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK, seharusnya penyidikan dan penuntutan kasus Harun Masiku dan sekarang Hasto Kristiyanto, sejak awal wajib hukumnya dilimpahkan ke Polri dan/atau Kejaksaan Agung.

"Namun faktanya KPK secara bertentangan dengan kewajibannya, tetap melakukan penyidikan dan penuntutan dengan melanggar Pasal 11 ayat (2) UU KPK," sesal Petrus lagi.

Dengan demikian, Petrus menegaskan, KPK harus segera menghentikan pelanggaran hukum yang dilakukannya sendiri selama ini, terlebih telah menjadikan KPK sebagai alat melampiaskan ambisi dan dendam Jokowi terhadap lawan politiknya, dalam hal ini Hasto Kristiyanto dan PDIP serta pihak lain yang tidak sejalan dengannya.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler