Petrus Selestinus: Praktik Tangan Besi Oknum Polisi di NTT Seperti Preman

Jumat, 01 Mei 2020 – 02:58 WIB
Petrus Selestinus. Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengkritik satu peristiwa kekerasan fisik (penganiayaan) dengan kualifikasi tindak kriminal yang diduga dilakukan anggota Polres Kupang, Polda NTT terhadap korban Frengky Dian Vicktor Riwu (Frengky), (43 tahun), warga Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT karena diduga mencuri HP.

Menurut Petrus, peristiwa kekerasan sebagai tindak kriminal oleh anggota Polisi di NTT sudah menjadi tontonan biasa bagi masyatakat NTT. Pasalnya, peristiwa kekerasan itu bisa terjadi di jalanan dalam suatu pengawalan dan bisa terjadi di Kantor Polisi sebagaimana pengalaman Frengky di Polres Kota Kupang, NTT. Frengky dijemput di rumahnya dan dianiaya di Polres Kupang Kota menggunakan balok dan pipa. 

BACA JUGA: Petrus Selestinus: Kebijakan Ini Menusuk Presiden Jokowi dari Belakang

“Berdasarkan penuturan Meldy Riwu, adik Frengky kepada media, bahwa penganiayaan yang terjadi di Polres Kupang Kota itu, telah mengakibatkan sekujur tubuh Frengky mengalami cedera, dan salah satu petugas Polisi yang diduga sebagai pelakunya adalah Kanit Buser Aipda YS bersama beberapa anggota buser lainnya pada hari Senin, tanggal 27 April 2020, pukul 14.00 Wita hingga pukul 17.00 Wita,” kata Petrus Selestinus dalam siaran persnya, Kamis (30/4).

Petrus menilai praktik tangan besi itu layaknya preman, sering dipertontonkan oleh anggota Polisi di sejumlah tempat di NTT. "Ini tentu tidak mendidik dan tidak koheren dengan pemeringkatan Polda NTT ke tipe A pada April 2017," kata Petrus yang juga advokat senior dari Perhmpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini.

BACA JUGA: Naik Tipe A, Polda NTT Dipimpin Bintang Dua

Menurut Petrus, pemeringkatan ini tidak hanya mengandung konsekuensi seorang Kapolda NTT berpangkat Jenderal bintang 2 (dua), tetapi juga menuntut peningkatan mutu pelayanan keadilan dan ketertiban kepada masyatakat yang selama ini diabaikan atau jalan di tempat.

Sementara negara sudah mengeluarkan anggaran ratusan trilunan untuk membenahi Polri, namun Polri belum berubah sesuai harapan publik. Begitu pula dengan Polda NTT, meskipun sudah 3 (tiga) tahun naik peringkat menjadi tipe A dengan segala konsekuensi anggaran, akan tetapi soal penghayatan dan implementasi dalam hal Profesionalisme, Humanisme, Hukum dan HAM, belum koheren dalam pemaknaan, penghayatan dan dalam implementasi, malahan makin jauh panggang dari api. 

BACA JUGA: Polda NTT Kirim 200 Personel Brimob ke Jakarta

“Frengky jelas korban salah tangkap (error in persona), begitu juga Frengky tidak tertangkap tangan, Frengky juga bukan penjahat kambuhan atau recidivist. Mengapa dia dijemput untuk dianiaya? Padahal mekanisme menghadirkan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana harus berdasarkan KUHAP dan prinsip Polisi PROMOTER,” tegas Petrus.

Lebih lanjut, Petrus mengatakan Plang Polisi PROMOTER dipajang di setiap Kantor Polisi semua tingkatan bukan untuk gagah-gagahan atau atribut kampanye, tetapi itu adalah pesan dan program KAPOLRI sesuai visi Presiden Jokowi yaitu POLRI, yang profesional, humanis, tegas dan menjunjung tinggi HAM, namun ini diabaikan.

"Ini potret buruk perilaku Polisi di NTT yang terjadi secara akumulatif, pertanda Kapolda dan jajaran pimpinan lainnya gagal total," katanya.

Polri seakan-akan menjadi monster yang menakutkan di samping COVID-19, pimpinan Polda NTT silih berganti secara teratur bahkan mendapat promosi jabatan mentereng di tempat lain, tetapi tidak ada legacy yang mengharumkan buat NTT. Produksi kekerasan fisik terhadap warga terus meningkat, pertanda Kapolda gagal. 

Akumulasi kasus-kasus kekerasan fisik yang muncul, menurut Petrus, tidak bisa lagi dianggap sebagai perilaku oknum dan bersifat kasuistis, tetapi ini sebagai "by design" untuk menciptakan frustasi sosial di kalangan masyarakat NTT. Karena selama ini Polisi yang melakukan penganiayaan apakah diproses pidana atau tidak pun tidak pernah jelas.

Oleh karena itu, Kapolda NTT harus bertindak tegas dan secara progresif mengubah mindset anak buahnya yang selalu ringan tangan ketika bertugas di lapangan. Kasus Frengky harus menjadi yang terakhir.

"Karena itu Polda NTT harus memproses hukum para pelaku penganiaya di Polres Kupang, Polres Manggarai Barat, di Polres Sikka dan lain-lainnya secara terbuka dan secara periodik melaporkan perkembangannya kepada masyarakat, karena merupakan hak masyarakat untuk tahu," tegas Petrus.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler