jpnn.com, JAKARTA - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tentang pelaksanaan pendaftaran tanah, asistensi pencegahan dan penanganan permasalahan pertanahan aset PGI, anggota dan lembaga keumatan yang berafiliasi dengan PGI di Grha Oikoumene PGI Jakarta, Senin (7/11) pagi.
Penandatanganan MoU ini dilakukan oleh Menteri ATR/BPN Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto, Ketua PGI Pdt. Gomar Gultom dan Sekum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty ini, disaksikan seluruh jajaran Kementerian ATR/BPN yang hadir, MPH-PGI, staf, serta pimpinan gereja.
BACA JUGA: Kepala BPN Riau Ditetapkan KPK Sebagai Tersangka, Transaksi Pakai Dolar Singapura
Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas penandatanganan MoU tersebut.
Gomar Gultom juga mengapresiasi atas seratus hari kerja Kementrian ATR/BPN dalam rangka membenahi pertanahan nasional, yang dalam banyak hal masih diliputi oleh sengkarut tanah, dan ketidakpastian hukum.
BACA JUGA: Ketum PGI Mengenang Azyumardi Azra, Ada Kesan Mendalam
“Salah satu yang sangat saya apresiasi adalah digitalisasi proses sertifikasi. Hal ini di satu sisi sangat membantu percepatan pembuatan sertifikat dan dapat dilakukan dari mana saja, tetapi di sisi lain, ini yang sangat penting, juga dapat mengatasi tumpang tindih kepemilikan ganda,” kata Pendeta Gomar Gultom.
Lebih lanjut, Pdt. Gomar Gultom mengatakan MPH-PGI memahami sulitnya pembenahan terhadap sengkarut tanah ini. Pasalnya, praktik mafia tanah yang masih bergentayangan di berbagai daerah, pengelolaan tata ruang yang belum berkeadilan, distribusi tanah yang berkeadilan belum sepenuhnya berlangsung serta regulasi yang ditengarai tidak berpihak kepada rakyat.
BACA JUGA: Menteri Hadi: Sertifikasi Tanah Gereja Tanpa Terkecuali dan Diskriminasi
Akibatnya, berbagai konflik terkait masalah kepemilikian tanah merebak di mana-mana, antara masayarakat lokal dengan pengusaha (tambang atau kebun) seperti misalnya kasus-kasus TPL di Sumatera Utara. Juga persoalan di NTT, Sulbar, Mandailing, dan daerah lain.
Menurut Gomar Gultom, selama ini dalam beberapa hal, PGI bekerja bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), terutama ketika terjadi konflik-konflik agraria, yang jumlahnya cukup memprihatinkan dari tahun ke tahun.
Menurutnya, konflik-konflik ini bukan saja bermasalah di sekitar pemilikan tanah, tetapi ditengarai juga akan merusak lingkungan dan akan membuat masyarakat terserabut dari akarnya. Kualitas lingkungan pada gilirannya makin mengancam kualitas kehidupan kita sebagai manusia.
“Akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan kita telah diperhadapkan pada realita degradasi tanah, air dan udara, deforestasi atau penggundulan hutan, kepunahan jenis binatang dan tumbuhan, peracunan alam di tingkat global, perubahan atmosfer dan degradasi masyarakat dan budaya,” ujar Ketum PGI.
Itulah sebabnya, kata dia, Sidang MPL-PGI 2013 mendorong gereja-gereja untuk memiliki komitmen untuk ikut serta mengatasi masalah agraria dan krisis sumber daya alam. Hal ini merupakan muara dari proses yang sudah cukup panjang dan diperhadapkan dengan realitas sosial sebagaimana telah diuraikan.
Apalagi ternyata, belakangan ini, beberapa warga desa, terutama korban-korban konflik agraria, merasa ditinggalkan oleh gereja, karena perjuanga mereka mempertahankan haknya tak mendapat perhatian gereja.
“Padahal, semestinya, di mana gereja hadir, di sana hadir daya penebusan Kristus, yang lama bengkok diluruskan, yang tidak adil menjadi adil dan yang lemah diberdayakan. Dalam kaitan inilah kami sangat menyambut gembira penandatanganan ini. Tentu ini tidak ujug-ujug tiba begitu saja,” ujarnya
Lebih jauh, Gomas Gultom menjelaskan memang terlihat komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menata tata ruang pertanahan kita ke arah yang lebih berkeadilan. Hal ini tampak misalnya makin diakuinya hak-hak masyarakat adat dalam kepemilikan tanah, yang sebelumnya tidak memungkinkan.
“Kami juga menyaksikan proses sertifikasi tanah yang kini telah mencapai 80 jutaan bidang tanah, dari 126 juta bidang tanah di Indonesia. Kita sama-sama mengetahui, sebelum Presiden Jokowi hanya 46 juta yang tersertifikat. Semoga program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebagaimana Inpres 2/2018 diteruskan, agar pensertifikatan ini makin luas,” tegasnya.
Pdt. Gomar Gultom menjelaskan redistribusi tanah yang sudah sejak 1960 diamanatkan oleh UU Pokok Agraria, barulah untuk pertama sekali dilakukan pada penghujung 1986, dengan dikembalikannya 13.122 hektare Kawasan hutan adat kepada Sembilan masyarakat hukum adat, yang sebelumnya merupakan bagian dari konsesi hutan industri.
Sementara itu, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto menegaskan kerja sama Kementerian ATR/BPN dan PGI bukan hanya sekadar seremonial semata.
Dengan MoU ini, permasalahan-permasalahan yang terjadi terkait pertanahan akan segera diselesaikan tanpa adanya diskriminasi.
“Indonesia negara yang sangat luas, namun hampir seluruh wilayah kita tidak ada yang tidak bermasalah dengan hak atas tanah bagi rakyat, maupun hak atas tanah bagi institusi. Sebab itu, kami memiliki waktu 2 tahun, hingga 2024 untuk menyelesaikannya,” kata Hadi.
Dia menambahkan ada 160 juta bidang tanah yang akan disertifikasi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saat ini sudah 140 juta bidang tanah yang selesai disertifikasi. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan UU Pasal 33 ayat 3 UUD 45 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pada kesempatan itu, Menteri ATR/BPN juga mendengarkan apa yang disampaikan oleh perwakilan gereja-gereja, terkait persoalan yang dialami terkait pertanahan.
Dia pun menegaskan akan membantu menyelesaikannya, asalkan telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari