jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau M. Syahrir sebagai tersangka kasus suap terkait pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha (HGU).
Selain Syahrir, KPK juga menjerat Pemegang Saham PT. Adimulia Agrolestari Frank Wijaya dan General Manager PT. Adimulia Agrolestari Sudarso sebagai tersangka.
BACA JUGA: Seusai Diperiksa KPK, Yang Mulia Hakim Agung Ini Irit Bicara
"KPK melakukan penyelidikan dan menemukan adanya peristiwa pidana sehingga meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (27/10).
Pengungkapan kasus ini merupakan pengembangan penyidikan dari kasus mantan Bupati Kuantan Singingi Andi Putra.
BACA JUGA: Usut Kasus Mafia Hukum, KPK Periksa Hakim Agung hingga Mama Muda
Firli menjelaskan Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT Adimulia Agrolestari menugasi Sudarso untuk mengurus dan memperpanjang sertifikat hak guna usaha (HGU) perusahaan yang akan berakhir masa berlakunya pada 2024.
Menurut eks Kabaharkam Polri itu, dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.
BACA JUGA: KPK Duga Kantor BPN Ini Bisa Kondisikan Sertifikat Tanah, Asal Dapat Uang, Terlalu
Selanjutnya, Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M. Syahrir yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau. Mereka membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari.
Sekitar Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT Adimulia Agrolestari seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
"Sudarso kemudian menemui M. Syahrir di rumah dinas jabatannya dan dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M. Syahrir sekitar Rp 3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka dan M. Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT Adimulia Agrolestari," ungkap Firli.
Firli menerangkan dari pertemuan tersebut, Sudarso lalu melaporkan permintaan M. Syahrir kepada Frank Wijaya.
Sudarso kemudian mengajukan permintaan uang SGD 120 ribu atau setara dengan Rp 1,2 miliar ke kas PT Adimulia Agrolestari dan disetujui oleh Frank Wijaya.
Sekitar September 2021, lanjut Firli, atas permintaan Syahrir penyerahan uang SGD 120 ribu dari Sudarso dilakukan di rumah dinas M. Syahrir.
Dalam kesempatan itu, Syahrir mensyaratkan Sudarso tidak membawa alat komunikasi apa pun.
"Setelah menerima uang tersebut, M. Syahrir kemudian memimpin ekspos permohonan perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari dan menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuantan Singingi yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar," ungkap Firli.
Oleh karena itu, atas rekomendasi Syahrir tersebut, Frank Wijaya kemudian memerintahkan dan kembali menugaskan Sudarso untuk mengajukan surat permohonan kepada Andi Putra.
Frank WIjaya meminta supaya kebun kemitraan PT. Adimulia Agrolestari di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan.
"Dilakukan pertemuan antara Sudarso dan Andi Putra. Dalam pertemuan tersebut Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhan minimal Rp 2 miliar," ujar Firli.
KPK menduga telah terjadi kesepakatan antara Andi Putra dengan Sudarso. Dan hal ini juga atas sepengetahuan Frank Wijaya terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut.
Sebagai tanda kesepakatan, sekitar September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi Putra uang sebesar Rp 500 juta.
"Berikutnya pada 18 Oktober 2021, Sudarso diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada Andi Putra dengan menyerahkan uang sekitar Rp 200 juta," tegas Firli.
Dalam kasus ini, Frank Wijaya dan Sudarso sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Syahrir sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Jebloskan eks Pejabat Kemendagri ke Lapas Sukamiskin
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga