jpnn.com, KUPANG - Pasca pelimpahan tahap dua tersangka Marthen Dira Tome (MDT) bersama berkasnya dari penyidik ke penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (13/3), maka penahanan Bupati Sabu Raijua (Sarai) nonaktif itu sudah dipindahkan dari tahanan KPK ke Lapas Klas 1 Surabaya.
Hanya saja, kuasa hukum MDT masih mempertanyakan mengapa penuntut umum KPK sudah mengantongi fatwa MA. Padahal, tersangka MDT dan berkasnya baru saja dilimpahkan tahap dua dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK pada Senin (13/3).
BACA JUGA: Bupati Sabu Raijua Akan Disidang di Surabaya
Atas fakta tersebut maka Ketua Tim Penasihat Hukum MDT, Johanis D. Rihi kepada Timor Express (Jawa Pos Group) di Pengadilan Tipikor Kupang, Selasa (14/3), mempertanyakan mekanisme keluarnya fatwa MA itu.
Dirinya mempertanyakan apa yang menjadi alasan ditunjuknya Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sebagai tempat untuk mengadili kliennya, MDT. Padahal, locus delicti yang dialami MDT ada di NTT. Tak hanya itu saja, sebelumnya saat dilakukan perpanjangan penahanan 2 x 30 hari untuk MDT, juga dilakukan penyidik KPK ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Klas 1A Kupang.
BACA JUGA: Bupati Sabu Raijua Desak KPK Usut Pejabat Lain
"Locus delicti dari kasus yang dialami klien saya itu ada di NTT kenapa tidak disidangkan saja di Kota Kupang tetapi harus di Surabaya. Selain itu, ketika dilakukan perpanjangan penahanan 2 x 30 hari justru dilakukan penyidik KPK ke Pengadilan Tipikor Kupang," sebut salah satu pengacara senior Kota Kupang itu.
Lebih dari itu, dirinya juga meminta jika memang Pengadilan Tipikor Surabaya yang ditunjuk sebagai tempat untuk menyidangkan kliennya itu maka seluruh saksi yang pernah diperiksa penyidik KPK harus diajukan di persidangan nanti. Pasalnya, kata John Rihi, pemeriksaan seluruh saksi di tingkat penyidikan jelas para saksi tentunya akan memberikan keterangan di bawah tekanan.
"Saya selaku ketua tim penasihat hukum meminta agar saat pemeriksaan saksi nanti, seluruh saksi yang pernah dimintai keterangan supaya dihadirkan. Jika tidak dihadirkan dan keterangan saksi tersebut hendak dibacakan maka kami akan menolak. Alasannya sederhana saja yakni para saksi tentunya akan memberikan keterangan yang lebih akurat saat berada di Pengadilan Tipikor," tegas dia.
Ditanya terkait adanya fatwa MA seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, dirinya mengatakan punya sejumlah bukti terkait dengan keluarnya fatwa dari MA tersebut. "Fatwa dari MA itu ternyata sudah keluar sejak Desember 2016 lalu karena adanya surat dari Polda NTT dan dari Kejari Kota Kupang. Padahal, saat itu kasus yang dialami klien kami masih dalam tahap penyidikan dan belum lengkap atau P21," kata John Rihi.
Padahal, berdasarkan Pasal 85 KUHAP, demikian John Rihi, fatwa MA itu hanya bisa diminta oleh penuntut umum dan bukan oleh pihak lain dengan alasan tidak nyamannya suatu persidangan.
Dirinya juga menegaskan ada dugaan kolusi antara penyidik dan penuntut umum KPK karena meskipun berkas kliennya belum P21 tapi sudah ada fatwa dari MA ke penuntut umum. Sementara berkas MDT masih ditangani penyidik.(gat/ito)
Redaktur & Reporter : Friederich