Pihak Kurator Meranti Maritime Minta Putusan Pengadilan Dihormati

Minggu, 23 Oktober 2016 – 13:56 WIB

jpnn.com - JAKARTA -- Proses restrukturisasi utang PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari telah selesai dan kini memasuki tahap pemberesan dalam proses kepailitan. Keduanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 22 Agustus 2016 lalu.

Meski demikian, polemik kepailitan perusahaan perkapalan itu masih berlanjut hingga muncul kriminalisasi terhadap dua orang kurator yang mengurus aset kekayaan PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari. Dua orang kurator itu yakni Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi. 

BACA JUGA: Garap Proyek PLTGU Priok, PLN-JBIC Tandatangani Perjanjian Pendanaan

Allova dan Dudi dituduh tidak independen dan melanggar UU PKPU hingga akhirnya mereka dipolisikan.

"Padahal pihak PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari sendiri yang secara sukarela mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Pengadilan Niaga. Tetapi klien kami yakni Allova dan Dudi malah disalahkan bahkan dikriminalisasi ketika PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat," kata Guntur Fattahillah selaku kuasa hukum Allova dan Dudi, dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (23/10/2016).

BACA JUGA: 2017, Perusahaan Swasta Bakal Dilibatkan Program Tol Laut

Guntur menceritakan, dalam permohonan PKPU secara sukarela itu disebutkan bahwa PT. Meranti Maritime memiliki utang kepada Bank Maybank Indonesia sebesar Rp 400 milyar dan PT Pann yang merupakan perusahaan BUMN sebesar Rp 1.3 Triliun. 

Bersamaan dengan itu, PT. Meranti Maritime mengusulkan kepada Pengadilan Niaga mengangkat dua orang pengurus atau kurator untuk proses PKPU ini, yakni Syahrial Ridho dan Tommy Siregar.

BACA JUGA: Diangkat jadi Dirut AP I, Danang: Saya Punya Tugas Berat

"Tetapi keduanya mengundurkan diri tanpa diketahui alasan yang jelas. Kemudian pada Desember 2015, Pengadilan Niaga mengangkat dua orang tambahan pengurus yakni Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi," jelas Guntur.

Kemudian lanjut guntur, PKPU atas PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari pertama kali diberikan selama 45 hari. Dalam kesempatan ini, Henry mengajukan proposal untuk membayar kepada krediturnya yang mencapai kurang lebih Rp 1.8 Triliun dengan membangun gedung pekantoran diatas tanah milik Meranti Bahari (yang juga saat itu sedang dalam keadaan PKPU dan juga dijaminkan kepada Maybank).

"Dari pengelolaan gedung tersebut digunakan untuk mencicil kepada para kreditur selama 21 tahun. Namun Maybank keberatan dengan penawaran ini dan meminta agar Meranti memperbaiki serta memberikan penawaran yang lebih realistis," tutur Guntur.

Kemudian perdamaian diperpanjang beberapa kali sampai dengan batas waktu maksimal yang diberikan UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU yakni 270 hari. 
"Klien kami yang mengusulkan perpanjangan 90 hari terakhir. Namun sayangnya itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Meranti Maritime dan Henry," sesalnya.

Selanjutnya, pengurus melakukan proses verifikasi utang, namun ternyata PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari memiliki utang perusahaan asing (British Virgin Island) bernama Growth High Investment (GHI) yang mengaku memiliki tagihan kepada PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari sebesar Rp 980 Milyar yang terdiri dari utang pokok Rp 280 miliar dan bunga Rp 700 miliar.

"Namun tagihan dari GHI sebesar Rp 980 Milyar tidak dapat diverifikasi karena syarat pengajuan tagihan belum terpenuhi, lantaran terdapat dua surat kuasa dari orang berbeda untuk mewakili GHI serta tidak ada Surat Kuasa yang dilegalisir oleh Kedutaan Indonesia untuk wilayah British Virgin Island. Hingga akhirnya Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan atas hal ini dengan tidak memberikan suara kepada GHI untuk mengikuti voting," jelas Guntur.

Pada tanggal 19 Agustus 2016, dilaksanakan voting oleh para kreditor atas proposal perdamaian yang diajukan oleh Meranti dan Henry. Voting berlangsung alot dan hasil dari voting tersebut adalah tidak terpenuhinya kuorum yang ditentukan undang-undang PKPU dan Kepailitan.

Menurut undang-undang kepailitan, proposal perdamaian harus disetujui oleh kreditor yang mewakili tagihan sejumlah 66.67%. Sebagai akibat tidak terpenuhinya kuorum tersebut sesuai dengan undang-undang kepailitan maka PT. Meranti Maritime dan Henry harus dinyatakan pailit. 

"Artinya, Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap dan karenanya kami harapkan semua pihak menghormati putusan ini tanpa mempolitisasinya," tutup Guntur. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perusahaan Kelas Kakap Ramaikan Indonesia Quality Expo


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler