Dalam kapasitasnya sebagai partner di Indonesia, DAHLAN ISKAN Sabtu lalu (11/7) diundang menghadiri peresmian gedung baru madrasah di SingapuraMadrasah itu sama sekali berbeda dengan madrasah tempat chairman/CEO Jawa Pos tersebut belajar di Magetan, Jatim, dulu
BACA JUGA: Frederica Widyasari Dewi, dari Artis Sinetron ke Kursi Direktur BEI
Berikut catatannya.- - - - - -
MADRASAH itu punya sistem pembelajaran yang modern
BACA JUGA: Mengunjungi Suku Badui yang Satu Kampung Golput saat Pilpres (2-Habis)
Di depan kelas terdapat sebuah papan yang selain dapat ditulisi juga bisa jadi layar proyektorBACA JUGA: Mengunjungi Suku Baduy yang Satu Kampung Golput Saat Pilpres 2009 (1)
Di masa lalu para murid akan berebut angkat tangan (ngacung) untuk menunjukkan siap menjawabDalam kasus ada beberapa anak yang berbarengan mengangkat tangan, maka akan terjadi subjektivitas sang guru: mau memilih murid yang mana untuk menjawab lebih dulu? Pilihan subjektif itu bisa merusak mental si anakAda saja anak yang merasa dianaktirikan karena angkat tangannya diabaikan oleh guru.Di madrasah Singapura tersebut tidak akan pernah terjadi hal seperti itu. Ketika di layar proyektor muncul pertanyaan, para siswa (santri) bisa langsung memijit alat elektronis yang ada di tangannyaDari situ bisa diketahui siapa yang lebih dulu memijit tombolNah, dialah yang berhak menjawab lebih dulu.
Madrasah tersebut memang serbaelektronisDi kelas pelajaran bahasa Arab, misalnya, papan tulisnya juga bisa jadi papan elektronisMisalnya, ada enam pertanyaan di sebelah kananLalu, ada pilihan jawaban di sebelah kiriMaka, pilihan jawaban tersebut bisa digeser-geser untuk disesuaikan dengan pertanyaannyaTulisan-tulisan di papan itu, yang dipancarkan dari proyektor, bisa dipindah ke bagian mana pun di papan itu tanpa harus menghapus dan menuliskannya lagi.
Saya mencoba menjadi siswa di situSaya memegang alat elektronis berbentuk seperti spidolAlat itulah yang saya pakai menggeser kata ”hua (dia) Ustman bin Affan” agar sejajar dengan pertanyaan ”man hua (siapa dia)….?”
Demikian juga sarana di kelas bahasa Inggris atau matematikaDi kelas bahasa Inggris (dan juga Arab), digunakan software komikSetiap siswa menghadap ke komputernyaLalu, di layar masing-masing muncul komik yang tidak ada dialognyaMuridlah yang harus mengisi kolom-kolom kosong di komik itu sesuai dengan kalimat percakapan yang dia inginkanMaka, saya lihat kelas bahasa itu seperti anak-anak lagi main game
Alangkah menyenangkanSebagian komik diambil dari server sekolah sendiri dan sebagian lagi diambil secara online lewat internet.
Di kelas matematika untuk kelas 1 ibtidaiyah/SD, alat peraganya juga elektronisDi layar proyektor itu ada gambar timbanganDi sisi kiri si guru menaruh gajah dengan berat 705 kgDi pojok layar yang lain tersedia beberapa angka yang bisa dipindah-pindah dengan kursorTugas si murid menaruh angka-angka itu di timbangan sisi kananKalau angka yang ditimbun di situ sudah sama dengan berat si gajah, timbangan akan seimbangKalau belum, masih terlihat njomplangBegitulahSaya tidak melihat pemandangan sekolah lagiSaya seperti melihat kios playhouse yang besar
Madrasah tersebut memang baru menempati gedung baru setelah 40 tahun menyewa gedung sekolah yang model lamaDi kompleks baru itu semua serbamodernDi pojok depan ada masjid baru dua lantai yang bisa menampung jamaah hingga 2.000 orangDi sisi kanan ada gedung MUIS (lembaga yang mengurus masyarakat Islam di Singapura) delapan lantaiPengadilan agama, urusan haji, dan koordinasi masjid ada di gedung tersebutGandeng dengan gedung itu ada bangunan enam tingkatPaling bawah difungsikan untuk lapangan terbukaKarena itu, plafonnya sangat tinggiDi atasnya ada kantin sekolah yang dilengkapi dengan dapur modern
Di atas kantin terdapat satu ruang besar dengan penataan seperti ruang redaksi di Jawa Pos SurabayaItulah ruang guruSetiap guru memiliki satu meja yang bentuknya mirip meja redaksi Jawa PosRuang tersebut full AC dengan lantai karpetSetiap guru juga memiliki locker sendiriRuang tersebut kelihatan amat ”gembira”Masing-masing (terutama guru wanita) seperti menghias mejanyaBunga, boneka kecil, mainan anak-anak terlihat di setiap mejaSaya membayangkan guru seperti itulah yang akan disenangi murid.
Di ruang itu pula guru akan membahas perencanaan dan persiapan mengajarJuga membicarakan prestasi dan kekurangan santri-santrinya. Melihat ruang guru tersebut, saya langsung bermimpi bahwa madrasah yang lagi kami bangun di Magetan sekarang (International Islamic School Pesantren Sabilil Muttaqin) kelak juga harus punya ruang guru seperti ituRuang guru yang bagus tentulah menentukan suasana kejiwaan para guruGuru yang jiwanya baik pada gilirannya akan bisa mengajar secara baik.
Di atas ruang guru tersebut masih ada gedung teater yang dipergunakan untuk pertunjukan atau acara-acara sejenisDi teater itu pula malam itu diadakan upacara peresmian madrasah yang dihadiri oleh Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong
Madrasahnya sendiri berada di kanan teater tersebutItulah madrasah Al Irsyad Al Islamiyah Singapura (Tidak ada hubungannya dengan Al Irsyad yang ada di Indonesia)Yakni bangunan empat lantai yang berbentuk UAda dua kelompok lift di sekolah tersebut, tapi hanya guru dan tamu atau murid yang memerlukan sarana khusus yang boleh lewat liftSantri biasa harus turun naik lewat tangga.
Sebagai orang yang sejak kecil hidup di madrasah di pedesaan, tentu saya ngiler berada di madrasah yang sarananya, metode belajarnya, dan pemikirannya begitu modernJangan ditanya soal kebersihannyaParit-paritnya saja sudah didesain secara khususApalagi ruang wudu masjidnyaInilah ruang wudlu yang di setiap pancurannya disediakan sarana permanen untuk sabun cairMirip dengan yang ada di bandara internasional atau di hotel bintang lima.
Demikian juga mukena untuk umumnyaKain sembahyang untuk wanita itu ditaruh di hanger seperti di tempat laundry modernDengan sistem penggantungan seperti itu, tidak akan ada mukena yang berbauPadahal, selama ini, saya selalu hanya melihat mukena yang justru dilipat, lalu dimasukkan ke lemariBisa dibayangkan mukena yang di bagian wajahnya pasti basah itu (karena dipakai oleh orang yang baru saja berwudu) menjadi apak dan berbau.
Saya sebenarnya malu harus ”impor” madrasah dari SingapuraTapi, saya juga harus mengakui untuk zaman modern nanti, kita tidak bisa lagi tidak menyesuaikan diri(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah di Balik Sukses Rhenald Kasali Meraih Gelar Profesor
Redaktur : Tim Redaksi