Pilkada DKI di Antara Isu Pribumi dan Nonpribumi

Oleh Dr Ahmad Basarah*

Selasa, 18 April 2017 – 13:23 WIB
Ahmad Basarah. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - Besok (19/4) warga DKI akan menentukan sosok gubernur dan wakil gubernur untuk lima tahun mendatang. DKI Jakarta merupakan satu dari 101 daerah yang ikut dalam pilkada serentak 2017.

Namun, pilkada DKI menjadi satu-satunya momen pilkada serentak 2017 yang marak diwarnai dengan aksi propaganda isu pribumi dan nonpribumi. Kenyataan tersebut tentu saja membuat perasaaan kebangsaan kita menjadi miris.

BACA JUGA: Kapolda Imbau Warga Lampung tak Berangkat ke Jakarta

Hal itu bukan saja membuat kohesifitas persatuan nasional kita menjadi terkikis, tetapi di dalam propaganda tersebut juga terkandung misi politik pecah belah atau devide et impera yang dulu dipraktikkan Belanda sehingga bisa menguasai dan menjajah Indonesia ratusan tahun lamanya.
 
Secara historis, isu pribumi dan nonpribumi cukup  kompleks. Gelombang migrasi manusia ke wilayah Indonesia memang punya sejarah panjang. Bahkan sebelum Islam datang sudah ada Hindu dan Budha.

Di masa-masa kolonialisme melawan penjajah, hampir semua komponen bangsa sudah ikut terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Bahkan komunitas Tionghoa juga berperan dalam kemerdekaan Indonesia.

BACA JUGA: Pilkada Dibawa ke Medsos, Publik Makin Mudah Terbelah

Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) juga terdapat nama-nama Tionghoa. AdaLiem Koen Hian,Tan Eng Hoa, Oei Tiang Tjoi dan Oei Tjong Hauw yang berasal dari keturunan Tionghoa. Dan tentu saja ada nama AR Baswedan yang keturunan Arab.
 
Dalam rumusan UUD 1945 oleh BPUPKI, Pasal   6   ayat   (1)   UUD   1945 sebelum amendemen menyebut presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli yang tidak pernah dimaksudkan untuk membedakan hanya warga negara pribumi yang bisa menjadi presiden, sedangkan warga negara Indonesia nonpribumi atau peranakan   dibatasi  hak politiknya agar tidak bisa menjadi calon presiden.

Kehadiran Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 naskah asli pada waktu itu dilatarbelakangi   persiapan kemerdekaan Indonesia yang masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang. Karenanya, pasal tersebut untuk membatasi agar orang asing dalam hal ini orang Jepang tidak boleh menjadi Presiden Indonesia.
 
Bung Hatta berpandangan bahwa seorang Indonesia tulen haruslah menghilangkan penyakit provinsialisme. Seorang Indonesia tulen tak perlu curiga atau menutup diri terhadap kehadiran manusia-manusia Indonesia  lain yang mungkin berbeda suku, agama, keyakinan politik dan lain-lain. Pendek kata, manusia Indonesia asli  tak lagi mengenal label pribumi dan pendatang.
 
Bung Karno dan Bung Hatta menyadari betul bahwa primordialisme adalah cara   penjajah untuk memecah belah Indonesia. Pasca-amendemen UUD 1945, corak nasionalisme yang kita tuju adalah nasionalisme sipil (civic nationalism), di mana kebangsaan yang dibangun lewat adanya pengakuan dan kesetiaan pada otoritas konstitusional. Dengan kata lain, ikatan yang dibangun dalam nasionalisme ini didasarkan atas kewarganegaraan yang diatur dalam konstitusi.
 
UUD 1945 juga mengamanatkan perlakuan yang sama. Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 menjadi dasar perlindungan dari diskriminasi etnis. Bunyinya adalah segala warga   negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
 
Negara melalui Pasal 27 Ayat 1 ini secara tegas memberikan pengakuan   yang   sama dengan tidak membeda-bedakan warga negaranya dalam mendapatkan   akses sosial maupun hukum.
 
Bertolak   belakang   dengan   itu,   ada   jenis   nasionalisme   etnis (ethnic nationalism)  di mana ikatan kebangsaan yang dibangun berdasar kesamaan bahasa, kebudayaan dan darah keturunan etnis.
 
Bahkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak boleh ada diskriminasi bangsa Indonesia atas perbedaan suku dan ras, pemerintah bersama DPR RI telah membuat UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Mereka yang melanggar UU tersebut bahkan bisa dikenai sanksi pidana berupa ancaman hukuman badan satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta.

BACA JUGA: Besok Pencoblosan, Pengusaha Berharap Jakarta Tetap Aman

Oleh karena pilkada DKI ini adalah agenda negara untuk memilih pelayan masyarakat dan bukan agenda agama untuk mencari pemimpin agama, maka hendaknya semua pihak tunduk pada otoritas hukum negara yang telah kita sepakati bersama secara nasional.
 
Mari kita jadikan pilkada DKI ini sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang sesuai kebutuhan warga Jakarta agar ibu kota negara ini benar-benar dapat menjadi kota yang mencerminkan peradaban tinggi bangsa Indonesia di mata rakyat Indonesia sendiri dan juga dunia internasional.(***)
 
*Penulis adalah Ketua Umum DPP PA GMNI‎

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Prabowo, Tolong Ingat Pilkada Rakyat bukan Pilkada Survei


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler