Pilpres 2019: Kader GPII Diminta Beri Contoh Bijak Bermedsos

Jumat, 02 November 2018 – 17:59 WIB
Diskusi bertema Konsekuensi Hukum & Dampak Negatif Kampanye Hitam di Media Sosial yang digelar Pimpinan Pusat Korps Mahasiswa Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP Kopma GPII) di Jakarta, Jumat (2/11). Foto: GPII

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Arief Rosyid mengatakan, fenomena hoaks sudah sangat meresahkan menjelang Pilpres 2019.

Berkaca dari pengalamannya, Arief menyebut profesor juga menyebarkan hoaks.

BACA JUGA: Sepertinya Kubu Jokowi dan Prabowo Sama-sama Bikin Blunder

"Sangat memprihatinkan. Profesor ini seorang dosen. Efeknya juga akan terasa sampai ke mahasiswanya,” kata Arief dalam diskusi bertema Konsekuensi Hukum & Dampak Negatif Kampanye Hitam di Media Sosial yang digelar Pimpinan Pusat Korps Mahasiswa Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP Kopma GPII) di Jakarta, Jumat (2/11).

Karena itu, dia meminta anggota GPII memberi contoh kepada masyarakat tentang etika menggunakan media sosial yang baik, terutama menjelang Pilpres 2019.

BACA JUGA: Jokowi Harus Kembali ke Pasar, Kalau Tidak Bisa Gawat

“Jika tak punya pengetahuan tentang suatu informasi, jangan pernah ikut menyebarkan sebelum melakukan cek dan tabayun,” tutur Arief.

Sementara itu, Ketua Kongres Advokasi Indonesia (KAI) Jakarta Ardy Mbalembout mengatakan, pandangan hukum pidana yang pada awalnya menjadi senjata pemungkas terakhir (ultimum remedium) dewasa ini telah berkembang dalam kampanye pemilihan umum sebagai senjata pilihan utama (primum  remedium).

BACA JUGA: Hanya Bisa Bersensasi, Sandi Belum Sekelas Jokowi

"Para pemilih harus mengamati mana yang ?ktif dan mana yang benar. Ini tentu juga merugikan publik karena publik berhak mendapatkan berita yang benar dan berdasarkan fakta. Mengumandangkan sebuah pesan yang tidak berdasar pada fakta adalah pelanggaran terhadap hak publik,” sebut Ardy.

Dia menambahkan, kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif. Menurut dia, kampanye negatif diperlukan untuk melihat rekam jejak seseorang secara keseluruhan.

Ardy menjelaskan, perbedaan mendasar antara kampanye hitam dengan kampanye negatif adalah sebuah fakta dan fiksi.

Kampanye hitam sebuah fiksi atau tidak berdasar, sedangkan kampanye negatif adalah sebuah fakta. 

"Kegiatan kampanye hitam (black campaign) menjurus kepada fitnah dan kebohongan tentang lawan politik sehingga ini dilarang oleh undang-undang. Kampanye negatif (negative campaign) tidak dilarang dan tidak dihukum karena memang berdasarkan fakta,” ujar Ardy.

Mahasiswa Pascasapol Universitas Indonesia Lutfhi Hasanal Bolqiah menuturkan,

dalih utama penangkalan hoaks yang dilakukan negara adalah stabilitas politik, bukan kebenaran.

"Saya ingin husnuzan dan memandang negara sedang berupaya untuk menjaga stabilitas politik. Sebab, tentu saya tidak melihat keinginan negara untuk masuk dalam perdebatan ilmiah tentang kebenaran,” ungkap Luthfi.

Dia menambahkan, masalah muncul ketika rezim berkepentingan dalam Pilpres 2019.

"Saat ini, menurut saya, sosialisasi negara untuk menangkal hoaks masih dalam bentuk propaganda, belum menyentuh pada metodologi atau variable datanya,” ujar Luthfi. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Republik Deklarasi Dukung Jokowi di 6 Provinsi


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler