jpnn.com, JAKARTA - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menuntaskan uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi yang membidangi hukum itu akan memilih lima dari 10 calon yang diuji.
Mantan Komisioner KPK Haryono Umar berharap Komisi III DPR mampu memilih figur-figur yang memiliki kompetensi dan pengetahuan karena mereka akan memimpin lembaga penegakan hukum. Karena itu, ujar Haryono, KPK membutuhkan orang-orang yang paham, memiliki kemampuan, dan pengetahuan terkait permasalahan-permasalahan hukum terutama pidana korupsi.
BACA JUGA: Agus KPK Terkejut Jokowi Ingkar Janji
"Kemudian bagaimana beracara segala macam sehingga dia bisa bisa mengarahkan, bisa mengendalikan apa yang dilakukan oleh oleh para pegawai KPK," ungkap Haryono di gedung DPR, Jakarta, Kamis (12/9).
Haryono menjelaskan, pimpinan KPK harus bisa memahami proses penanganan suatu perkara. Haryono bercerita, di eranya dulu, proses penanganan perkara dimulai dari adanya pengaduan masyarakat. Dari pengaduan itu, harus dicari dulu apakah masuk kasus hukum atau tidak.
BACA JUGA: Capim Ini Pengin KPK Mencontoh Kejaksaan
Setelah itu, ditentukan apakah diperlukan penindakan atau pencegahan, tetapi sebelumnya harus dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan. "Ini proses yang panjang, karena tidak mudah mengumpulkan data yang itu kejadiannya sudah cukup lama, karena kan korupsi itu kan rata-rata lima tahun ke atas baru terungkap," ujarnya.
Setelah pengaduan masyarakat dianggap kuat, maka akan diajukan apakah bisa naik ke penyelidikan atau tidak. Dia menambahkan, di dalam proses pengajuan tersebut tentunya akan terjadi dialog dalam rapat gelar yang dihadiri pimpinan.
Menurutnya, pimpinan hadir untuk melihat apa yang bisa yang dikumpulkan berdasar pengaduan masyarakat itu, dan apakah yang dilakukan memang sudah sesuai standar operasional prosedur. "Serta apakah memang betul-betul yang data dan keterangan yang dikumpulkan itu sudah komplit atau belum," jelasnya.
Dia menambahkan, kalau sudah komplit maka nanti dibuat perencanaan penyelidikan, kemudian ditanya juga mengenai kesiapan dari penyelidik. Setelah itu diterbitkan surat perintah penyelidikan. "Dari sana di proses penyelidikan terkadang lama dan terkadang cepat, tergantung kepada buktinya," paparnya.
Haryono melanjutkan, karena berpedoman KUHAP maka harus ada minimal dua alat bukti yang dikumpulkan di dalam proses penyidikan. Menurutnya, penanganan perkara korupsi tidak bisa ditarget, karena tergantung kepada bukti. "Semuanya itu harus dengan barang bukti dan alat bukti yang harus ditunjukkan, harus digelar dengan dengan senyata-nyatanya," ujarnya.
Menurut Haryono, karena proses pengambilan keputusan di KPK menganut sistem kolektif kolegial, maka tidak bisa hanya satu, dua, tiga atau empat saja pimpinan yang mengambil keputusan, tetapi harus lengkap lima-limanya yang menyatakan setuju. "Persetujuan itu diwujudkan dalam bentuk tanda tangan atau persetujuannya, tanda tangan atau parafnya. Kalau tanpa itu berarti tidak bisa dilanjutkan," jelasnya.
Setelah mendapatkan minimal dua alat bukti dalam proses penyelidikan, barulah bisa lanjut ke penyidikan yang ada upaya hukumnya. Termasuk memperkuat alat bukti yang sudah dikumpulkan selama proses penyelidikan.
Ketika sudah betul-betul kuat, baru dibawa ke penuntutan. Dari proses penuntutan hanya diberi waktu tujuh hari untuk bisa membawanya ke persidangan.
Nah, Haryono menegaskan, Komisi III DPR harus mengirim orang yang memahami proses tersebut. Menurut dia, kalau pimpinan tahu prosesnya maka ketika penyidik mengajukan sudah bisa mengarahkan. "Kalau dia tidak tahu bagaimana dia bisa mengarahkan, bagaimana dia bisa mengendalikan," kata Haryono.
Dia berharap, Komisi III DPR tidak hanya bisa menemukan pimpinan yang paham penindakan, tetapi memahami proses pencegahan. "Karena begini, saya lihat sampai dengan saat ini antara pencegahan dengan penindakan itu tidak berjalan paralel," ujarnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy