"Sebagai ormas keagamaan terbesar, pimpinan NU ke depan harus bersih dari politik praktis dan tidak masalah jika mempunyai pemikiran liberalItu sesuai dengan Khittah NU 1926.” tegas Said Aqil Siradj dalam diskusi bertema “Liberaliasai Pemikiran Keagamaan" yang diselenggarakan FPKB DPR bersama Ketua PBNU KH
BACA JUGA: Angket Jalan, Reshuffle Mengancam
Masdar FBACA JUGA: Hotel Harus Pajang Batik, Keris dan Wayang
DrBACA JUGA: Hendarman Janji Tindak Jaksa Nakal
Ali Maschan Musa di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Kamis (19/11).Soal pemikiran liberal, selama tidak keluar dari teks, konteks dan kaidah keislaman justru itu merupakan sesuatu yang harus terus dikembangkan di NU“Kalau kita mempersoalkan liberalisme pemikiran keagamaan Islam, ini bukti mereka tidak mengetahui sejarah pemikiran IslamLiberalisme itu sudah terjadi sejak zaman khulafaurrasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsaman dan Ali dan para ulama tabiin,” ujar Said Aqil Sirajd.
Hal yang sama diungkapkan Masdar FMas’udiJika bersih dari politik itu merupakan suatu keharusan, agar NU tidak diseret-seret untuk kepentingan politik praktisLain halnya dengan liberalisme yang di NU sudah merupakan tradisi yang mesti dikembangkan sepanjang berdasarkan pada Al-Quran, hadits, tafsir dan merujuk kepada kaidah para ulama.
Bahkan diawal berdirinya NU, 30 Februari 1926 sudah terjadi perbedaan pemikiran dengan munculnya ‘Tashwirul Afkar’ dan perbedaan yang tajam antara KHHasyim Asy’ari dengan Syekh Yasin al-PasuruaniKedua kiai itu kata Masdar, berbeda pendapat soal dibolehkannya pendidikan untuk perempuan di sekolah-sekolah dan pesantren“Mbah Hasyim membolehkannya, tapi Syekh Yasin melarangnyaJadi, kalau tidak ada terobosan pemikiran Mbah Hasyim, tidak mungkin kaum perempuan maju seperti sekarang ini,” tutur Masdar.
Liberalisasi pemikiran keagamaan itu tidak akan berhenti, kecuali dilarang berpikirJika hanya mendasarkan pada nalar murni maka akan terjadi sepekulasi-sepekulasi pemikiranTapi, kalau dengan pertimbangan kemaslahatan untuk rakyat yang lebih besar, maka liberalisme itu justru lebih bermanfaat daripada pemikiran fikih atau syariah yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan diri atau kelompok tertentu saja, kata Masdar.
“Jadi, liberalisme pemikiran keagamaan yang posoitif harus terus didorongLiberalisme nalar positif juga merupakan fikih yang harus dikembangkanFikih itu harus menyentuh kepentingan rakyatToh, hal itu sudah terjadi sejak zaman sahabat Umar bin Khottob,” imbuh Masdar.
Menjawab pertanyaan, bagaimana dengan munculnya dua kelompok pemikiran keagamaan antara liberalisme dan fundamentalisme yang dipelopori oleh anak-anak muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla? Baik Said Aqil Siradj maupun Masdar FMas’udi menyatakan hal itu masih terjadi sampai sekarangPersoalannya, kedua pemikiran yang ada itu tidak pernah didialogkan secara terbuka (tabayyun).
Mestinya kata Said Aqil, konsep tabayyun itu dikembangkan, tapi tidak tahu mengapa justru tidak adaOleh sebab itu menurutnya, biarkan saja bergulir secara alami dengan terus melakukan dialog intensif di internal maupun eksternal NU, sehingga pada saatnya anak muda NU memiliki tempat di struktural NU sendiri.
Padahal lanjut Said Aqil, ketika KHAbdurrahman Wahid (Gus Dur) memimpin NU banyak pemikiran liberal yang dahsyat dan luar biasaAnehnya tidak banyak kiai NU yang protes“Mungkin hal itu karena Gus Dur memang hebat dan banyak dibela oleh kiai-kiai yang lainSedangkan Ulil Abshar dan kawan-kawan tidak ada yang belaTapi, anak muda seperti itu tetap harus diberi tempat dan dirangkul oleh PBNU,” pinta Said Aqil Siradj(fas/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MUI Belum Sikapi Film Kiamat 2012
Redaktur : Tim Redaksi