Pimpinan Pertempuran 10 November Raih Gelar Pahlawan Nasional

Sabtu, 08 November 2014 – 01:14 WIB
Potret almarhum HR Mohamad Mangoendiprodjo. Foto: istimewa

jpnn.com - JAKARTA - Satu per satu keluarga tokoh bangsa mengucapkan syukur atas gelar pahlawan nasional yang diberikan pemerintah pada empat tokoh di Istana Negara, Jakarta, Jumat, (7/11). 

Salah satunya adalah keluarga dari almarhum HR Mohamad Mangoendiprodjo, pemimpin pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Menko Maritim Indroyono Soesilo, cucu dari Mangoendiprodjo mengaku sangat bahagia, kakeknya dapat memperoleh gelar tersebut.

BACA JUGA: SBY: Kami Semua Mendukung Bung Ryamizard

"Pengusulan eyang kami untuk dapat gelar ini sudah dilakukan dari 3 tahun lalu oleh berbagai kalangan dan kalangan masyarakat Jawa Timur. Kami mengucapkan banyak terimakasih sekali," ujar Indroyono.

HR Mohamad Mangoendiprodjo lahir pada 1905 dan tutup usia pada 1988. Almarhum adalah mertua mantan Menko Polkam Soesilo Soedarman dan eyang dari Menko Maritim Indroyono Soesilo.

BACA JUGA: Rakyat Malaysia Ikut Komentar Pembelaan Jokowi di Facebook

Sebelum terlibat aktif dalam perang kemerdekaan, Mangoendiprojo yang lulusan OSVIA pada 1927 bekerja sebagai Pamong Pradja. Karirnya sebagai birokrat berjalan lancar hingga menjabat sebagai sebagai Wakil Kepala Jaksa kemudian Asisten Wedana di Jombang, Jawa Timur. 

Namun rasa kebangsaannya yang kemudian membuat Mangoendiprojo memutuskan bergabung dalam Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Lulus pendidikan militer, dia ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon di Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI.

BACA JUGA: 8 Hari ke Depan, Jokowi Blusukan ke Luar Negeri

Masuknya kembali pasukan Belanda (NICA) di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menjadi operasi militer terbesar pertamanya. Mangoendiprojo bersama Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab dan Drg Moestopo, memimpin perlawanan terhadap pasukan sekutu yang berlangsung di seluruh penjuru Surabaya.

Hingga pada 29 Oktober 1945 pimpinan sekutu mengadakan pertemuan dengan Bung Hatta untuk melakukan gencatan senjata. Pada pertemuan tersebut, Muhamad diangkat oleh Jendral Oerip Soemomihardjo sebagai pimpinan TKR Jawa Timur dan kontak biro dengan pihak sekutu.

Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Mohamad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat progres gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan Merah depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu tentara Inggris dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. 

Mohamad lantas masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Mohamad malah disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak dan terbakar. 

Tewasnya Mallaby, membuat Inggris marah. Inggris mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata, untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Mohamad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukan pertempuran yang puncaknya adalah 10 Nopember 1945. Inggris membombardir Surabaya dari darat, laut dan udara.

Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6315 pejuang anggota TKR. Mohamad pun terkena pecahan mortir di pelipisnya, namun tetap memimpin pertempuran melawan tentara sekutu. 

Setelah pertempuran Surabaya, Mangoendiprojo dipromosikan menjadi Jendral Mayor dan diangkat menjadi  Kepala Staff TNI oleh Presiden Soekarno. Setelah mengakhiri karier militer, dia ditugaskan sebagai Bupati Ponorogo, yang salah satu misinya adalah mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso pada 1948. 

Prestasinya ini kemudian mengantar Mangoendiprojo menjadi Residen (Gubernur) pertama Lampung dengan misi utama mengendalikan keamanan di daerah ini. Di sini pula Mangoendiprojo tutup usia pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung.

Kerabat lainnya, Tri Haryo Soesilo mengucapkan terimakasih pada Presiden Joko Widodo dan jajarannya atas penganugerahan tersebut.

"Kami sangat bersyukur pada Allah SWT. Kami sangat berterimakasih pada Presiden atas anugerah ini," kata Tri. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Angka Pengangguran Naik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler