Pinjol

Rabu, 13 Oktober 2021 – 12:35 WIB
Ilustrasi pinjaman online atau pinjol. Foto: JPNN.com

jpnn.com - Zaman digital, serbaonline, apa saja bisa diperoleh dan dilakukan melalui aktivitas online.

Berbagai pekerjaan dan profesi beroperasi melalui online, mulai dari kegiatan halal seperti order makanan, sampai kegiatan haram seperti perdagangan manusia dan prostitusi online.

BACA JUGA: Wakil Ketua DPR Minta Polri dan OJK Berantas Pinjol Ilegal

Belakangan ini yang lagi viral adalah munculnya lintah darat digital, yang disebut sebagai fintech lending digital, atau lebih dikenal sebagai pinjol alias pinjaman online.

Korbannya sudah sangat meluas di kalangan masyarakat, sampai Presiden Jokowi menyinggungnya di depan para pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

BACA JUGA: Ini Sasaran Empuk Pinjol Ilegal, Waspadalah!

Lintah darat beroperasi di desa-desa, menawarkan pinjaman tanpa prosedur administratif yang berbelit-belit dan tanpa perlu agunan.

Namun, dalam praktiknya kemudian utang membengkak karena bunganya bisa berlipat puluhan kali. Si pengutang akan berakhir makin bangkrut dan harta yang tersisa akan disita oleh si lintah darat.

BACA JUGA: Tak Kuat Terus Diteror Debt Collector Pinjol, Ibu Dua Anak Ini Nekat Gantung Diri

Lintah adalah hewan air yang kerjanya mengisap darah. Lintah darat mengisap darah rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi dan tidak punya akses untuk berutang ke lembaga keuangan resmi.

Lintah darat gaya lama sudah jarang beroperasi di desa. Sebagai gantinya, sekarang muncul lintah darat online, yang jauh lebih ganas dan sadis dibanding lintah darat tradisional.

Tidak ada catatan resmi berapa banyak masyarakat yang menjadi korban lintah darat online. Biasanya masyarakat malu melaporkan diri karena utang dianggap sebagai aib.

Secara sosiologis masyarakat merasa malu kalau ketahuan punya utang, karena itu mereka merahasiakannya.

Praktik itu terjadi sejak era lintah darat tradisional sampai era lintah darat digital sekarang ini.

Umumnya para korban itu baru terbuka kasusnya ketika kondisinya sudah amat parah.

Seorang guru TK di Kota Malang meminjam kepada fintech lending uang sebesar Rp 1,8 juta. Dari transaksi itu sang guru hanya menerima Rp 1,2 juta dengan alasan dipotong untuk biaya administrasi.

Guru TK itu kepepet berutang karena butuh biaya untuk membayar kuliah S1.

Namun, yang terjadi kemudian utangnya makin hari kian membengkak. Sang guru kaget bukan alang kepalang ketika mengetahui utangnya menggajah-bengkak menjadi Rp 40 juta.

Pinjol ilegal mempekerjakan debt collector digital yang tidak kalah sadis dan brutal dibanding dengan debt collector tradisional.

Publik sudah banyak mendengar praktik kekerasan yang dilakukan para penagih utang konvensional. Mereka tidak segan-segan mendatangi rumah pengutang dan menyita paksa barang atau perabotan apa saja yang tersedia.

Insiden kekerasan sering terjadi ketika penagih utang, yang dipekerjakan perusahaan leasing, mencegat pengutang di tengah jalan dan merampas paksa sepeda motor yang dikendarai pengutang.

Orang sudah mafhum bahwa perusahaan leasing membuat persyaratan yang sangat mudah bagi konsumen untuk mendapatkan kredit sepeda motor. Cukup menunjukkan selembar KTP dan uang administrasi Rp 500 ribu seseorang bisa membawa pulang sepeda motor kreditan.

Masalah akan muncul ketika terjadi penunggakan cicilan. Perusahaan leasing itu mempekerjakan para penagih utang, yang biasanya mempergunakan cara-cara preman dalam menjalankan tugasnya.

Para penagih utang itu beroperasi dengan tampilan sangar dan mengintai korban di pinggir jalan.

Begitu korban muncul, sepeda motor akan langsung dirampas kalau tidak bisa membayar tunggakan pada saat itu juga. Insiden semacam ini sering berakhir dengan kekerasan ketika pemilik motor melawan.

Masyarakat yang kesal terhadap penagih utang preman itu akhirnya membalas dengan melakukan pengeroyokan.

Penagih utang konvensional ini dianggap brutal dan kurang ajar. Praktik ini juga diterapkan oleh penagih utang digital yang dipekerjakan oleh perusahaan pinjol ilegal.

Mereka mempekerjakan debt collector digital yang menagih dengan cara-cara teror. Para penagih utang digital ini menagih melalui pesan WA setiap detik.

Bukan itu saja, penagih digital ini mengancam dan meneror dengan menyebarkan aib pengutang kepada sahabat, kolega, dan handai tolan.

Dalam kasus guru TK di Malang, dia akhirnya dipecat oleh kepala sekolah karena dianggap mempermalukan institusi.

Utang membengkak dan kehilangan pekerjaan, sang guru tidak tahu harus ke mana mengadu. Kasusnya menjadi viral nasional, sampai kemudian Pemerintah Kota Malang turun tangan menutup utangnya dengan dana bantuan dari Badan Amil Zakat Nasional Kota Malang.

Teror brutal yang dilakukan oleh debt collector menyebabkan pengutang depresi sampai akhirnya bunuh diri. Seorang pengutang di Jakarta bunuh diri di kantor karena tidak tahan menghadapi teror debt collector digital.

Pengutang itu gantung diri di kantornya di malam hari ketika kantor sepi. Ia meninggalkan selembar kertas berisi catatan utang online yang membengkak.

Di masa pandemi, ketika rakyat sudah sangat tertekan oleh kesulitan ekonomi, para lintah darat digital makin luas beroperasi. Masyarakat mengalami kesulitan mengakses pinjaman dari lembaga keuangan resmi karena persyaratan administratif yang rumit.

Masyarakat kelas menengah bawah ini tidak memenuhi syarat untuk bisa menerima pinjaman dari bank. Mereka termasuk dalam kategori ‘’unbankable’’ yang biasanya menjadi korban empuk lintah darat tradisional dan digital.

Ekonom Prof. Muhammad Yunus dari Bangladesh menemukan cara efektif untuk mengatasi problem ruwet ini. Kasus orang miskin di Bangladesh sama saja dengan kasus di Indonesia.

Rakyat miskin yang tidak punya akses ke bank itu menjadi korban lintah darat dan terjebak utang turun temurun sehingga menjadi miskin seumur hidup.

Rakyat miskin selalu ‘’unbankable’’ tidak layak bank, seumur hidup karena tidak punya apa pun yang bisa menjadi collateral atau agunan. Perbankan konvensional adalah ujung tombak praktik kapitalisme, yang hanya memberi pinjaman kepada orang kaya yang meminjam uang untuk mengembangkan usaha supaya main kaya.

Orang miskin, yang butuh modal untuk mempertahankan hidup, justru tidak bisa dilayani oleh bank. Praktik diskriminatif ini makin luas menjadi diskriminasi gender, karena nasabah perempuan umumnya dianggap punya kredibilitas dan kapabilitas lebih rendah dalam mengembalikan pinjaman dibanding laki-laki. Karena itu bank lebih memilih nasabah laki-laki ketimbang perempuan.

Muhammad Yunus membuat terobosan untuk memecah kebuntuan ini. Dalam buku ‘’Grameen Bank: Bank for the Poor’’ (2006), Yunus menceritakan bahwa ia mengajukan konsep ‘’bank melarat’’ kepada pemerintah pada 1976, tetapi ditolak.

Yunus kemudian mencari donatur dari teman-temannya dan mulai memberikan kredit kecil kepada ibu-ibu pedagang di pasar. Para perempuan lebih diprioritaskan untuk mendapat pinjaman tanpa agunan ini, karena dianggap punya daya juang yang tinggi untuk menyelamatkan hidup anak-anak dan keluarga. Kaum perempuan juga dianggap punya tingkat amanah yang tinggi dibanding laki-laki.

Berdirilah Grameen Bank (Bank Orang Miskin) yang menjalankan program microfinancing dengan memberi pinjaman kecil tanpa agunan.

Dalam waktu singkat Bank Miskin berkembang pesat, dan pada 1984 pemerintah Bangladesh secara resmi mengakui keberadaan ‘’Bank Miskin’’ .

Dalam waktu singkat Bank Miskin punya nasabah 8,4 juta orang, mayoritas ibu-ibu pedagang kecil di pasar. Tingkat NPL (non-performing loan) atau pengemplang utang, nyaris nol.

Bank Miskin bahkan bisa mengumpulkan modal dari nasabah, yang sekaligus menjadi pemegang saham, dan menyalurkannya kepada masyarakat miskin di seluruh Bangladesh.

Atas keberhasilannya itu Muhammad Yunus mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian pada 2006. Dalam pidato pengukuhannya Muhammad Yunus mengatakan bahwa Grameen Bank, yang asalnya dinamakan ‘’Bank for the Poor’’ (bank untuk orang miskin) dalam waktu dekat akan berubah menjadi ‘’Bank for the Formerly Poor’’ (bank untuk bekas orang miskin).

Ketika negara tidak bisa hadir mengatasi kemiskinan yang parah, muncul seorang Muhammad Yunus yang menjadi penyelamat. Di Indonesia pemerintah belum hadir secara konkret untuk mengatasi kemiskinan struktural yang makin mencekik.

Kita membutuhkan orang-orang seperti Muhammad Yunus untuk mengisi kevakuman ini. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler