jpnn.com - Hidup di kota besar tidaklah mudah. Untuk bertahan butuh perjuangan keras dan kegigihan. Terlebih lagi bagi seorang wanita tua seperti Inaq Asiah.
FERIAL AYU, Mataram
BACA JUGA: Kisah Pengikut Dimas Kanjeng, Setor Rp 200 Miliar, Dijanjikan Rp 18 Triliun
Dinginnya angin malam terasa menusuk tulang. Tetesan air hujan perlahan mulai turun membasahi jalanan. Beragam kendaraan berseliweran datang dan pergi.
Dengan tatapan polos, Inaq Asiah duduk di sebelah pohon di bibir jalan raya di Jalan Airlangga. Belasan sisir pisang berjejer di hadapannya. Dia masih menanti kedatangan orang yang akan membeli jejeran pisang miliknya.
BACA JUGA: Kisah Manusia Rakit, Tetap Bertahan Meski Bahaya Selalu Mengancam
Hujan mulai besar, ia pun terburu-buru memindahkan semua pisang miliknya ke depan sebuah toko dekat jalan raya tersebut.
Tangannya terlihat gemetar, menahan dinginnya angin malam. Ia masih menata setiap sisir pisang agar tak rusak.
BACA JUGA: Mata Langsung Terasa Segar Begitu Menatapnya, Wouw Banget!
“Mari berteduh ke sini,” panggilnya ramah saat Lombok Post (Jawa Pos Group) kebetulan singgah di tempat tersebut.
Senyum ramah terpancar diwajahnya saat memulai perbincangan. Seperti inilah kondisi Inaq Asiah setiap harinya. Sehabis salat Isya, ia bergegas menuju Jalan Sriwijaya. Bersama Wahyudi, sang anak angkat, ia membawa belasan sisir pisang untuk dijual.
Wanita 55 tahun ini berasal dari Kateng, Praya Lombok Tengah. Ia menikah dengan suaminya yang berasal dari Lingkungan Karang Anyar Kelurahan Monjok.
Inaq Asiah hidup serba pas-pasan. Bahkan kerap kekurangan. Ia tinggal di sebuah rumah sangat sederhana. Untuk makan sehari-hari, ia harus ikut membantu suami banting tulang untuk mencari nafkah. Semua pekerjaan ia lakoni selama itu halal.
Selain berjualan pisang, ia kerap membantu suaminya berjualan sapu. Berkeliling tanpa lelah menyusuri semua jalanan di Kota Mataram. Mulai dari tengah hari hingga tengah malam. Meski terkadang sapu tersebut tak terjual sama sekali.
“Paginya saya jadi tukang sapu di Cemare. Mulai dari subuh sampai jam 10 pagi,” ujarnya. Guratan sedih terlihat jelas dalam kerutan wajahnya yang tebal.
Ia tak pernah mengeluh dengan kondisi ekonominya tersebut. Hanya saja, ia bersedih saat anak yang menjadi harapan pengubah nasib keluarganya telah pergi untuk selamanya. Tak ada lagi yang menjadi harapannya.
Kesedihan tersebut semakin bertambah. Sang suami pergi meninggalkan ia untuk selamanya sekitar dua bulan yang lalu. Tak ada lagi tempatnya bersandar. Tempat berbagi suka dan duka melewati hidup yang tak pernah berkecukupan.
Meski ia mendapatkan gaji dari pekerjaannya sebagai tukang sapu, namun gaji tersebut masih belum cukup. Ia tak bisa bergantung pada gaji itu saja. Terlebih lagi, ia kabarnya akan digantikan dengan tukang sapu baru yang masih muda.
Sebagai persiapan, ia mulai melanjutkan kembali usaha jualan sapu almarhum suaminya. Namun kondisi tubuhnya tak memungkinkan ia untuk berjalan terlalu jauh. Akhirnya ia pun memilih berjualan di pinggir jalan.
Melihat banyaknya buah pisang di kebun tetangganya di Karang Anyar, ia pun memutuskan untuk berjualan pisang. Ia berjualan mulai dari sehabis salat Isya hingga pukul 11 malam. Bahkan jika jualannya tidak laku, ia memilih begadang.
Meski beberapa hari ini hujan dan angin kencang kerap turun, tak merubah tekad Inaq Asiah untuk tetap berjualan. Ia percaya jika rezeki telah diatur Sang Pencipta.
Selain itu, ia menawarkan pisang yang berbeda dibandingkan pisang di pasar. Buah pisang yang dijualnya masak secara alami tanpa karbit. Jadi, rasa matangnya benar-benar lezat.
“Saya cuma diamkan pisang tersebut dalam karung. Tidak seperti penjual lainnya yang memakai karbit,” akunya.
Dengan mata berkaca-kaca, Asiah menuturkan alasannya berjualan di pinggir jalan raya. Ia mengatakan jika ia tidak mungkin berjualan di pasar. Butuh modal besar untuk menyewa dan mengisi lapak di pasar. Sementara ia tidak memiliki uang banyak.
Selain itu, saingan di pasar juga cukup banyak. Penjual pisang dan sapu sangat banyak di seluruh pasar. Sangat sulit baginya untuk berrsaing dengan mereka.
Ia mengaku, mulai jualan pisang dengan modal Rp 600 ribu. Dari uang tersebut ia mendapatkan delapan tandan pisang, yang kemudian ia simpan dalam karung selama dua hari.
Setelah dua hari, pisang kemudian dilepas dari tandannya. Kemudian dibawa menuju Jalan Sriwijaya untuk dijual. Setelah pisang tersebut habis terjual, ia kemudian membeli pisang baru lagi untuk disimpan hingga matang.
“Kadang bisa laku habis terjual semua selama dua hari, kadang juga tidak,” tuturnya.
Tak banyak yang diharapkan Inaq Asiah. Ia hanya ingin mendapatkan sedikit kebahagian di masa tuanya. Terlebih lagi dia hidup sebatang kara. Ia berharap ada seseorang yang dapat meringankan beban hidupnya. Membantunya melewati masa sulit di penghujung usia.
Meski menanggung beban yang berat untuk bertahan hidup di kota besar, Inaq Asiah tak pernah pesimis. Ia selalu yakin akan rencana tuhan di hidupnya.
“Semua sudah takdir dan harus diterima. Tidak boleh menyerah sebelum berjuang,” pungkasnya.(JPG/*/r3/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mbak Eni asal Kediri Pidato di PBB, Tepuk Tangan Bergema
Redaktur : Tim Redaksi