PISPI: RUU SBPB Harus Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi

Minggu, 25 Agustus 2019 – 00:16 WIB
Pembicara diskusi Diskusi dengan tema “RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan: Anti Kriminalisasi Petani?" di Jakarta, pada Jumat (23/8/2019). Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) menggelar Diskusi Terarah dengan tema “RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan: Anti Kriminalisasi Petani?" di Jakarta, pada Jumat (23/8/2019).

Diskusi tersebut menghadirkan narasumber yakni Anggota Komisi IV DPR RI Hasanuddin, Direktur Serealia Kementerian Pertanian RI Bambang Sugiharto, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan, Wakil Ketua Umum PISPI Tedy Dirhamsyah dan Kajian Strategis BPP PISPI Suroyo

BACA JUGA: PISPI - Unbraw Bekerja Sama Tingkatkan Ekosistem Bisnis Pertanian 4.0

Dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua Umum PISPI Tedy Dirhamsyah mengapresiasi DPR dan Pemerintah yang telah menyusun RUU ini dengan maksud menyempurnakan UU Sistem Budidaya Tanaman (SBT).

“PISPI memberikan masukan agar ada penjelasan tentang petani kecil karena muncul di banyak pasal. Kemudian harus dipertimbangkan, perihal pasal yang mengatur petani kecil supaya melaporkan kegiatan pemuliaan benih ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” terangnya.

BACA JUGA: PISPI Sebut Beras Surplus, Pemerintah tidak Perlu Impor

Tedy menambahkan perlu juga mempertimbangan terkait 15 Pasal yang mengatur ketentuan pidana, 14 pasal di antaranya untuk petani dan pelaku usaha, sementara untuk pemerintah hanya ada 1 pasal sanksi.

Sebagai penutup diskusi, Kajian Strategis BPP PISPI Suroyo berjanji PISPI akan merangkum hasil diskusi ini dan bersama-sama dengan organisasi tani dan profesi akan menyusun masukan kepada Komisi IV DPR RI dan Pemerintah sebelum RUU SBPB disahkan.

BACA JUGA: PISPI Menyikapi Krisis Petani Muda dengan Cara Ini

Untuk diketahui, UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (UU SBT) dinilai menjadi alat kriminalisasi petani kecil pemulia benih dan bertentangan dengan UUD 1945. Atas dasar itu, petai dan gerakan rakyat mengajukan UU SBT ke Mahkamah Konstitusi RI (MK).

Pada tahun 2013, MK kemudian mengabulkan permohonan dan memperbolehkan petani kecil untuk melakukan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah serta mengedarkan hasil pemuliaan berupa benih untuk dirinya sendiri dan komunitasnya.

Dengan berbagai pertimbangan, pada tahun 2017 Komisi IV DPR RI mengusulkan revisi atas UU SBT dan mengubahnya menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (SBPB).

Mengenai ini, Anggota Komisi IV DPR RI Hasanuddin membenarkan bahwa kemungkinan besar RUU SBPB akan disahkan pada bulan September 2019 ini, yakni sebelum DPR RI periode 2014-2019 purna bakti.

“Ada 5 komponen penting dalam RUU SBPB yakni akses petani terhadap tanah, benih, pengairan, pengembangan sumber daya petani dan jaminan pasar hasil pertanian,” ujarnya.

Dia juga meminta kepada peserta diskusi untuk memberikan masukan terhadap RUU SBPB, terutama pasal-pasal yang dapat berpotensi mengkriminalisasi petani.

Panasihat IHCS Gunawan mempertanyakan perubahan nomenklatur SBT ke SBPB terkait penggunaan istilah sistem dalam RUU ini dan meneruskan makna keberlanjutan.

“Apabila semangatnya mengganti, apakah mau mengembalikan sistem pertanian ke alami atau malah menyeimbangkan pertanian alami dengan non-alami buah revolusi hijau,” ungkapnya.

Terkait hak petani untuk mencari, mengembangkan dan mengedarkan benih untuk komunitasnya, MK telah memutuskan diperbolehkan bagi perorangan petani kecil untuk komunitasnya. Oleh karena itu, pembahasan RUU SBPB harus mempertimbangan putusan MK tersebut.

“Namun dalam RUU SBPB frasa komunitas diganti dengan kelompok, ini perlu pendalaman,” tambahnya.

Menjawab pertanyaan itu, Direktur Serealia Kementerian Pertanian RI Bambang sugiharto menyatakan RUU SBPB ini dimaksudkan untuk menyempurnakan UU SBT.

“RUU ini akan jadi produk negara jika sudah disahkan, untuk itu sebelumnya harus mendapat masukan dari berbagai kalangan, seperti dalam forum ini,” tuturnya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler