PKS: Jangan Mempertaruhkan Pendidikan Bangsa Hanya Demi Segelintir Pasal di RUU Cipta Kerja

Kamis, 03 September 2020 – 16:19 WIB
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: Humas FPKS DPR

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mendesak supaya klaster pendidikan dicabut seluruhnya dari substansi Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja atau RUU Cipta Kerja.

Fikri menegaskan semua substansi terkait pendidikan termasuk yang mengubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut. "Karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi kita,” katanya, Rabu (2/8).

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Terbongkar Pesta Gay Kuningan Penuh Gairah, Jangan Tergiur Rayuan Pesantren, Perintah Jenderal Idham

Fikri menduga adanya unsur pemaksaan pendidikan menjadi lebih liberal di dalam RUU Cipta Kerja dengan mengubah pasal-pasal di dalam UU yang mengurusi pendidikan tersebut.

“Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi kita, masa depan bangsa ini jangan dipertaruhkan hanya segelintir pasal dalam RUU Cipta Kerja,” ucapnya.

BACA JUGA: NIP dan SK Belum juga Diterbitkan Pemerintah, Banyak PPPK Terpaksa Cari Pinjaman Uang untuk Bertahan Hidup

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tegas menolak segala bentuk justifikasi atas liberalisasi pendidikan, apalagi dikuatkan dengan perundangan seperti di dalam RUU Cipta Kerja.

"Bahkan preambule konstitusi UUD 1945 kita langsung menyebut soal kewajiban pemerintah, salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu dengan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional bukan melepasnya secara komersil,” kata Fikri.

BACA JUGA: 9 Pria Menunjukkan Adegan Pesta Gay Penuh Gairah di Hadapan Polisi, 47 Orang Dipanggil jadi Saksi

Selanjutnya, kewajiban pemerintah juga tertulis dalam Pasal 31 UUD 1945.   Pasal 31 Ayat 3 menyebutkan "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang."

Sementara Pasal 31 Ayat 5 UUD 1945 menyebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."

Fikri menambahkan, draf RUU Cipta Kerja buatan pemerintah telah melanggar kodrat kontitusi dengan mewajibkan institusi pendidikan mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam Pasal 68 aturan tersebut.

“Ketentuan ini memaksa institusi pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-alih pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konstitusi,” kata Fikri.

Menurutnya, yang menjadi perdebatan krusial salah satunya adalah kewajiban berusaha dalam draf RUU Cipta Kerja Pasal 68 Ayat 5, terkait ketentuan pada Pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diubah. Sehingga berbunyi "Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat."

Selain itu, ketentuan lain mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.

“Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan nonformal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha,” kritik Fikri.

Isu lain soal perombakan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di dalam RUU Cipta Kerja. Fikri mengecam pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing.

“Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing diberi karpet merah. Ini benar-benar RUU Alien,” kata Fikri.

Dia juga mengritik sikap pemerintah di dalam pembahasan legislasi yang tidak konsisten terkait revisi UU Sisdiknas. “Kita seharusnya konsisten pada kesepakatan awal bahwa revisi UU Sisdiknas dibahas terpisah,” ujar dia.

Fikri mengingatkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, revisi atas UU 20/2003 tentang Sisdiknas merupakan UU tersendiri dan usulan pemerintah.

"Keputusan ini disepakati oleh pemerintah sendiri yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR saat penentuan Prolegnas,” imbuh Fikri.

Dia merujuk pada kesimpulan hasil rapat antara Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan HAM serta pimpinan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada 16 Januari 2020. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler