jpnn.com - JAKARTA -- Peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat Ali Masykur Musa mengatakan pluralisme menjadi suatu keharusan di Indonesia. Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama itu mengatakan isu pluralisme akan menjadi tema yang pertama diusung ini jika terpilih sebagai pemenang konvensi.
"Pluralisme suatu keharusan di sebuah negara Pancasila. Sebab itu, membangun pluralisme harus menjadi komitmen semua pihak. Baik pemerintah pusat, daerah, tokoh formal maupun informal dan para pemimpin partai politik," ujar Masykur Musa kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/11).
BACA JUGA: Adiguna Kirim Surat Sakit, Polisi tak Percaya
Pernyataan ini menanggapi survei Lembaga Pemilih Indonesia, Minggu (11/11). Seperti diketahui, dalam rilis LPI sosok tokoh elit politik baru yang dinilai pluralis yaitu Jokowi di posisi pertama, Hary Tanoe 5,07 persen di posisi kedua dan capres dari konvensi Demokrat Ali Masykur Musa di posisi ketiga dengan 5,04 persen.
Ali Masykur menambahkan, saat ini Indonesia berada dalam masa transisi dan mengharuskan terbangunnya suasana politik yang penuh toleran agar pemilu 2014 berjalan secara damai.
BACA JUGA: Koalisi Partai Islam Dinilai Sulit Terwujud
Sekarang, lanjutnya, sendi-sendi sosial bangsa Indonesiatelah bergeser dari kohesif menuju ke individualistik. Dengan demikian kehidupan masyarakat kita akhirnya cenderung tidak mampu mengembangkan toleransi yang menghargai perbedaan.
"Karena itulah, yang dibutuhkan dalam kepemimpinnan yang akan datang, masyarakat menginginkan agar pemimpinannya itu mampu menjadi peredam masalah sosial," kata Masykur.
BACA JUGA: PAN Buka Peluang Koalisi dengan Partai Nasionalis
Ia berjanji akan menjadi tokoh yang mampu menjadi solidarity maker di level sosial dan politik. Dirinya mengaku sikap plural bukanlah masalah di tokoh-tokoh NU.
"Karena memang sikap seperti ini (pluralis) sudah menjadi sikap keseharian dari pimpinan-pimpinan Nahdhatul Ulama yang mengedepankan toleransi sebagai prinsip etika sosial kita," ujarnya.
Ia menambahkan, akhir-akhir ini, pluralisme tidak dihargai sebab politik agama dan etnik telah menjadi alat para pimpinan baik formal maupun informal agama.
Pada akhirnya cenderung melahirkan kekerasan antar umat beragama dan kekerasan antar etnik di Indonesia.
"Padahal 10 tahun yang lalu kita tidak melihat adanya kekerasan antar suku justru setelah reformasi inilah melahirkan kekerasan antar suku di Indonesia. Makanya kita harus berani dan kritis di Indonesia yang pluralis," jelasnya.
Menurut Masykur, seharusnya keragaman bisa dijadikan potensi di Indonesia. Sayangnya, kata dia, perbedaan itu menjadi komoditas politik yang acapkali dibenturkan.
"Solusinya adalah, leadership. Membutuhkan leadership yang memiliki nilai-nilai toleransi. Dari segi program-programnya mengedepankan pendekatan kultural yang menumbuhkan karakter bangsa. Selama ini pendidikan karakter bangsa kan ditinggal," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana untuk Proyek Hambalang Cukup Rp1,7 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi