jpnn.com, JAKARTA SELATAN - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan putusan sela yang menolak eksepsi kompetensi absolut yang diajukan PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS) sebagai tergugat.
Majelis hakim juga menyatakan PN Jaksel berwenang mengadili perkara nomor 116/2023.
BACA JUGA: KPMH Desak PN Jaksel Segera Sidangkan Kasus Penipuan Investasi
Putusan sela yang dijatuhkan majelis hakim pada Selasa (12/9) itu juga memerintahkan Parbulk dan HITS untuk melanjutkan persidangan.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berpendapat bahwa substansi gugatan Parbulk dalam perkara Nomor 116/2023 adalah apakah HITS telah melakukan wanprestasi atas surat pernyataan penanggungan yang ditandatangani pada 11 Desember 2007, dan bukan mengenai perkara PKPU 40/2012.
BACA JUGA: PN Jaksel Gelar Sidang Perdana Mario Dandy Hari Ini, Tidak Ada Pengamanan Khusus
Menurut pertimbangan hukum majelis hakim pada perkara Nomor 116/2023, pada tanggal 12 Oktober 2012, Majelis Hakim Perkara PKPU 40/2012 melalui putusannya telah mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan PT Jasmanindo Sapta Perkasa terhadap HITS.
Namun, Parbulk tidak pernah dipanggil secara sah, patut dan tidak ikut sebagai pihak dalam perkara PKPU tersebut. Parbulk juga tidak ikut mendaftarkan tagihannya dalam perkara PKPU tersebut.
Karena itu, majelis hakim berpendapat bahwa perkara Nomor 116/2023 merupakan perkara perdata, yaitu gugatan wanprestasi yang diajukan Parbulk terhadap HITS ke PN Jaksel dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 436 Rv, yaitu agar suatu putusan pengadilan asing, dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Inggris No. 58/2010 dapat dilaksanakan di Indonesia.
Berdasarkan putusan ini, PN Jaksel berwenang mengadili Perkara Nomor 116/2023.
Direktur Parbulk Christian Due menyampaikan apresiasinya kepada majelis hakim yang telah menjatuhkan putusan sela tersebut.
Melalui keterangan yang diterima Senin (25/9), dia berharap putusan sela ini dapat menjadi preseden yang positif bagi iklim investasi di Indonesia.
Tanggapan Parbulk Atas Informasi HITS Kepada BEI
Dalam surat No.154/DU-HIT/VIII/2023 tertanggal 14 Agustus 2023 kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) perihal Tanggapan atas Permintaan Penjelasan atas Pemberitaan di Media Massa, HITS menyatakan bahwa mereka telah mengakui dan menyampaikan perkara hukum dengan Parbulk dalam Laporan Keuangan Audit Terkonsolidasi Tahun Buku 2022 tertanggal 19 April 2023.
Sementara itu, sidang pertama Perkara 116/2023 telah berlangsung sejak 13 Februari 2023.
HITS baru melaporkan dan mengumumkan informasi atau fakta material mengenai Perkara 116/2023 kepada BEI dalam Laporan Keterbukaan pada 14 Agustus 2023, yang mana setelah lewat enam bulan sejak sidang pertama Perkara 116/2023.
Seluruh emiten atau perusahaan publik tunduk pada ketentuan Pasal 2 Ayat (3) dan Pasal 6 huruf (p) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik (POJK 31/2015) yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (3) POJK 31/2015:
“Penyampaian laporan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesegera mungkin paling lambat pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terdapatnya Informasi atau Fakta Material.”
Pasal 6 huruf (p) POJK 31/2015:
“Informasi atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:
(p) Perkara hukum terhadap Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik yang berdampak material.
Terkait dengan pernyataan Direktur Utama HITS, Tonny Aulia Achmad dalam laporan keterbukaan yang mengatakan bahwa Heritage gagal melakukan pembayaran sesuai Perjanjian Sewa Kapal - BIMCO Standard Bareboat Charter tertanggal 11 Desember 2007 sebagai akibat dari krisis finansial global pada 2008.
Hal ini tidak didukung dan tidak selaras dengan pendapat Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa krisis finansial bukanlah merupakan suatu keadaan memaksa (force majeure) yang dapat menjadi alasan debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan berdasarkan perjanjian yang telah disepakatinya atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
Pendapat Mahkamah Agung tersebut tertuang dalam beberapa putusannya, yaitu Putusan Nomor 3087K/PDT/2001 tertanggal 20 Februari 2007 yang menolak seluruh dalil memori kasasi pemohon kasasi yang mendalilkan alasan krisis moneter sebagai keadaan memaksa (force majeure).
Kemudian putusan Nomor 1787 K/PDT/2005 tertanggal 28 Mei 2008 yang kaidah hukumnya menyatakan bahwa krisis moneter bukanlah suatu keadaan memaksa (force majeure) sehingga tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak memberikan atau tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan menurut perjanjian.
HITS telah dinyatakan bersalah melakukan wanprestasi oleh Pengadilan Tinggi Inggris melalui Putusan Pengadilan Tinggi Inggris Nomor 58/2010.
Dalam perkara tersebut HITS berpartisipasi secara aktif dan mengajukan bantahan (points of defense) pada tanggal 16 Februari 2010 ke Pengadilan Tinggi Inggris.
Hal ini sesuai dengan pengakuan HITS dalam Laporan Keuangan Konsolidasian HITS dan anak perusahaannya tertanggal 31 Desember 2016 dan untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut beserta laporan auditor independen.
Setelah Putusan Pengadilan Tinggi Inggris Nomor 58/2010 tersebut dijatuhkan, HITS tidak melakukan upaya hukum apa pun terhadapnya, sehingga Putusan tersebut menjadi putusan yang sah dan mengikat secara hukum.
Atas dasar itu, HITS sepatutnya tunduk pada Putusan Pengadilan Tinggi Inggris Nomor 58/2010.
Namun faktanya, sampai dengan saat ini HITS tidak pernah membayar kewajibannya kepada Parbulk berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Inggris Nomor 58/2010 tersebut.
Ini bukan pertama kali HITS menolak untuk menaati putusan pengadilan luar negeri.
Berdasarkan Laporan Tahun HITS 2022, HITS juga tidak mematuhi putusan Pengadilan Tinggi Singapura yang memerintahkan HITS dan anak perusahaannya, PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) untuk membayar semua klaim Likuidator HST (PT Humpuss Sea Transport Pte Ltd) sebesar USD 170 juta ditambah bunga pre-judgment sejak 18 Agustus 2014 hingga 26 Juni 2019 dengan tarif 5,33 persen per tahun untuk HITS dan 0,5 persen untuk HTK, dan bunga post-judgment sebesar 5,33 persen untuk HITS dan HTK.
HITS dan HTK juga wajib membayar biaya pengadilan kepada Likuidator HST masing-masing sebesar SGD 200.000 dan SGD 137.608.
Namun, sampai dengan saat ini HITS dan HTK tidak pernah melakukan pembayaran apa pun kepada likuidator HST. (mar1/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi