jpnn.com, JAKARTA - Ditreskrimum Polda Metro Jaya menerbitkan tiga surat perintah penyidikan (sprindik) dalam perkara memasuki pekarangan tanpa izin yang berhak (pasal 167 KUHP) dengan tersangka R.Lutfi.
Pakar hukum menilai langkah tersebut sebagai abuse of power yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta kesewenang-wenangan penyidik dalam penegakan hukum.
BACA JUGA: Polda Metro Jaya soal Holywings, Kombes Yusri: Kami Tidak Segan Lakukan Penutupan
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran Prof. I Gede Pantja Astawa menegaskan bahwa dalam UU Kepolisian menekankan pelarangan terbitnya double sprindik alias sprindik ganda sehingga penerbitan tiga sprindik terhadap tersangka Lutfi merupakan penyalahgunaan kekuasaan.
"Terlepas dari ada atau tidaknya conflict of interest antara penyidik dan pelapor, maka kalau mengacu pada UU Kepolisian yang melarang terbitnya sprindik double, tindakan Polda Metro Jaya sudah masuk dalam kategori abuse of power," tutur Astawa, Minggu (12/9).
BACA JUGA: Polda Metro Jaya Bakal Tindak Tegas Bandar Balap Liar
"Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum khususnya bagi tersangka yang perkaranya sudah di-SP3-kan," imbuhnya.
Seperti diketahui, perkara yang menimpa Lutfi sebelumnya telah dihentikan penyidikannya melalui SP3 dengan nomor B/243/v/2017/Ditreskrimum. Alasan penghentian penyidikan karena dinilai tak cukup bukti.
BACA JUGA: Polda Metro Jaya Alihkan Vaksinasi Covid-19 ke Depok, Bekasi, dan Tangerang
Namun Lutfi kembali menyandang status tersangka atas laporan Andreasto Yusuf, mewakili PT Multi Aneka Sarana (PT MAS). Uniknya, meski subyek dan obyek laporan yang diadukan sama, Polda Metro Jaya melalui AKBP Gafur Siregar sebagai Kasubdit Harda II kala itu menaikkan status Lutfi menjadi tersangka melalui sebuah gelar perkara.
Sebagai catatan, Gafur Siregar tak lain adalah penyidik perkara Lutfi untuk pasal pengaduan yang sama, sebelum akhirnya di SP3. Kala itu Gafur Siregar masih berpangkat komisaris polisi dan menjabat sebagai Kanit IV.
Sebagai catatan, sprindik yang diterbitkan untuk menindaklanjuti laporan PT MAS (pasca SP3) adalah SP.sidik/555/II/2018/Ditreskrimum tertanggal 2 Februari 2018.
Penyidikan perkara Lutfi sendiri terkatung-katung sehingga Kejaksaan Tinggi DKI mengembalikan SPDP perkara tersebut. Namun Polda Metro Jaya kemudian menerbitkan sprindik kedua dengan nomor SP.sidik/1212/III/2019/Ditreskrimum tertanggal 21 Maret 2019. Hal ini diketahui dari plang pengawasan di tanah sengketa yang dipasang oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya dengan dasar nomor sprindik dimaksud.
Penyidikan perkara ini kembali terkatung-katung, hingga akhirnya terbit lagi sprindik baru dengan nomor SP.sidik/2674/VIII/RES.1.2/2021/Ditreskrimum tertanggal 13 Agustus 2021.
Umar Saleh yang ditunjuk Lutfi sebagai juru bicara ahli waris mengatakan jika pamannya (Lutfi) ditetapkan sebagai tersangka atas sprindik pertama, ia justru mempertanyakan status tersangka pamannya di sprindik kedua dan ketiga.
"Dasar hukum pemasangan plang pengawasan di tanah kami juga dipertanyakan. Plang itu mengacu sprindik kedua. Lantas mengapa plang belum dicabut oleh Polda Metro Jaya, padahal saat ini paman saya dipanggil untuk sprindik ketiga dengan status tersangka. Dasar hukumnya apa," tukas Umar.
Atas hal ini Profesor Astawa menegaskan bahwa Lutfi berhak mengajukan gugatan perbuatan hukum yang dilakukan oleh penguasa alias Ontechtmatige overheids Daad.
"Yang dimaksud perbuatan melawan hukum dalam kasus ini adalah Polda Metro Jaya," ucap Astawa. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil